Kutub.co– Desa Mangunkerta yang berada di wilayah Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur Jawa Barat merupakan salah satu wilayah yang terkena bencana gempa bumi pada 21 November tahun 2022. Dengan kekuatan gempa berskala 5,6 richter, menimbulkan dampak kerusakan yang sangat besar, baik infrastruktur jalan, bangunan, sarana air maupun jiwa. Terdapat 310 orang meninggal, 1000 orang cedera, 20 orang tidak ditemukan dan 58.000 orang harus mengungsi, serta total kerusakan rumah tempat tinggal sebanyak 56.311 unit untuk seluruh kawasan terkena gempa di Kabupaten Cianjur, sebagaimana yang disampaikan kepala BNPB.
Bencana alam yang terjadi menyebabkan masyarakat kehilangan tempat tinggal, saudara, keluarga, serta kesulitan untuk mendapatkan kelayakan dalam melanjutkan kehidupan sehari-hari. Kondisi tersebut menyebabkan sebagian besar masyarakat mengalami kecemasan dan ketakutan, yang berkembang menjadi sakit baik itu sakit fisik ataupun psikologis serta ditambah dengan penanganan bantuan yang terlambat dan belum memadai/layak sampai saat ini. Salah satu akibat dari bencana ini terlihat pada perkembangan anak anak yang mengalami traumatis, yaitu kondisi dimana anak anak mengalami peristiwa bencana alam gempa bumi yang menjadi ingatan membekas secara terus menerus sehingga ini dapat memengaruhi mental dan emosi seseorang.
Dampak bencana pada anak-anak jauh lebih serius, karena mereka berada pada usia yang rentan, sehingga belum memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan baik. Apabila kualitas mental anak menurun akan berujung pada penurunan kualitas hidup. Hal ini diperlukan usaha penanganan yang ekstra, baik pikiran, tenaga, waktu serta pembiayaan. Anak-anak yang terdampak adalah anak-anak usia sekolah, merupakan usia yang sangat penting dalam perkembangan kehidupan seorang anak. Anak-anak tersebut mulai dihadapkan pada tantangan baru dalam berbagai aspek kehidupan, baik fisik, kognitif, sosial, emosional maupun akademik.
Oleh karena itu, diperlukan penanganan melalui pendekatan yang menyenangkan untuk meminimalisir dampak goncangan yang ditimbulkan. Kegiatan-kegiatan seperti bermain, bernyanyi, melukis dan kegiatan edukatif atau kegiatan lainnya yang melibatkan aspek fisik lainnya sudah dilakukan dengan beragam cara oleh berbagai institusi, akan tetapi dampaknya pada anak masih tetap ada hingga saat ini, seperti ketakutan pada malam hari sehingga sulit tidur, sulit berkonsentrasi serta menolak untuk pergi sekolah.
Gejala-gejala perilaku tersebut adalah sebagian dari tanda-tanda gejala stress pasca bencana atau Post Trauma Stress Syndrome (PTSD). Fakta tersebut diperoleh dari hasil wawancara dengan sebagian orang tua dan guru serta pengamatan dilakukan oleh peneliti (dosen) bersama mahasiswa dari Universitas Alghifari pada saat melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Mangunkerta Desa Cugenang pada awal tahun 2024. Apabila kondisi ini tidak ditangani secara serius, maka anak-anak tersebut dikhawatirkan akan berkembang menjadi anak-anak yang serba takut, tidak percaya diri, pesimis, dan tidak memiliki keberanian untuk mencoba apapun. Sementara usia anak anak ini merupakan bagian dari generasi emas pada bonus demografi tahun 2045, dimana 70% penduduk Indonesia yang berusia 15 – 64 tahun adalah usia produktif.
Suatu generasi yang dituntut secara kompeten memiliki kualitas percaya diri, inisiatif, kreatif, kuat dan sehat secara fisik maupun mental, mampu beradaptasi dengan perubahan, cerdas dan berwawasan. Mengingat kondisi anak-anak pada usia sekolah saat ini menuju Indonesia Emas pada tahun 2045 nanti, maka perlu dilakukan program trauma healing yang berkelanjutan pada anak-anak yang terkena PTSD. Selama ini program-program yang diberikan bersifat jangka pendek, dan penyelesaiannya sementara, sehingga mengakibatkan masih tersisa cukup banyak anak penderita PTSD di Desa Mangunkerta Desa Cugenang Kabupaten Cianjur.
Sasaran atau target program trauma healing yang berkelanjutan ini adalah tercapainya perubahan perilaku pada anak-anak penderita PTSD, yang semula perilakunya menarik diri atau takut menjadi perilaku yang positif, mau berkembang, belajar dan bergaul. Secara jangka panjangnya, diharapkan anak-anak tersebut memiliki ketahanan atau kemampuan untuk beradaptasi terhadap situasi yang menekan, baik secara internal maupun eksternal (Resilience). Faktor resiliensi ini merupakan faktor pelindung yang memungkinkan anak-anak mampu menghadapi keberagaman, mengatasi tantangan dan menerima pengalaman masa lalunya.
Pengertian resiliensi merupakan sebuah proses dari hasil adaptasi dengan pengalaman hidup yang sulit atau menantang, baik eksternal maupun internal. Sementara kata proses, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah rangkaian tindakan, pembuatan atau pengolahan yang menghasilkan produk/output yang diinginkan. Proses perubahan perilaku, terutama perubahan perilaku yang bersifat mental/psikologis membutuhkan waktu yang lebih lama untuk membentuk kebiasaan baru dibanding perubahan perilaku yang bersifat fisik. Pembiasaan terjadi ketika suatu perilaku diulang berulang kali, sehingga otak beradaptasi dengan rutinitas dan membuat respon secara otomatis. Pendekatan/metode resiliensi ini dipandang tepat untuk dipakai dalam penanganan trauma healing pada anak-anak PTSD dengan penekanan pada aspek psikologisnya. “Metode Resiliensi pada Pelayanan Trauma Healing: Penanggulangan Korban Bencana pada Anak di Desa Mangunkerta Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur”adalah salah satu Metode yang disarankan untuk mengatur Trauma Healing.
Tujuan pelaksanaan kegiatan ini adalah melakukan penanggulangan korban bencana pada anak di Desa Mangunkerta yang masih memperlihatkan PTSD, terbentuknya perilaku positif yang adaptif terhadap setiap perubahan/tekanan yang mendadak. Dengan menciptakan lingkungan serta sarana prasarana yang mendukung, diharapkan anak-anak tersebut nantinya lebih mudah menyesuaikan diri dengan lebih baik terhadap situasi menekan (stressful) yang ada. Pelibatan orang tua/keluarga dan guru/pendidik sangat krusial demi tercapainya sasaran atau target program ini, selain pihak lainnya seperti Karang Taruna, PKK, serta unsur aparat pemerintah daerah (desa, kecamatan dan kabupaten) demi penyelenggarakan kegiatan secara komprehensif.
Pemberian penyuluhan, simulasi, praktek dan pendampingan kepada orang tua atau guru, diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang pentingnya penanggulangan trauma healing pada anak. Peneliti sebagai dosen, dibantu oleh tenaga ahli (psikolog) serta mahasiswa berperan sebagai fasilitator, pemandu, observer serta evaluator dari kegiatan ini, sekaligus berperan untuk memastikan program ini dapat berjalan dengan baik.
Program ini merupakan implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi Bidang Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) dengan memberikan solusi konkret terhadap permasalahan sosial psikologis yang dihadapi oleh masyarakat. Fokus utama program adalah memberikan manfaat langsung kepada masyarakat dengan memperbaiki kualitas hidup dan kesejahteraan anak-anak korban bencana melalui pemberian layanan trauma healing, sehingga terciptanya perilaku yang lebih adaptif pada anak yang mengalami PTSD. Pelaksanaan kegiatan ini tidak hanya berkontribusi pada pemenuhan MBKM mahasiswa dan pencapaian IKU lembaga, tetapi juga mewujudkan komitmen terhadap PKM dengan memberikan dampak yang nyata dan positif bagi masyarakat yang membutuhkan. Implikasi dari PKM ini dapat digunakan sebagai dasar untuk penerapan dan pengembangan program pelayanan trauma healing yang lebih luas dan berkelanjutan, sehingga nantinya dapat menjadi percontohan bagi desa wilayah lain yang terkena bencana dalam penanganan trauma healing.
Penulis: Ito Turyadi, Yuyun Mulyati, R. Myrna Nur Sakinah