Kutub.co-Sebuah akun instagram besar mengupload kabar mengenai seorang laki-laki yang mencoba bunuh diri karena masalah asmara. Video itu kemudian berbondong-bondong dikomentari netizen (yang merasa) budiman. Mereka mencela, menghujat, mencemooh dan menghardik tindakan laki-laki itu.
Saya membaca komen-komen itu dengan desahan panjang, entah di mana kemanusiaan mereka? Entah di mana empati mereka? Kenapa orang yang sudah dalam kondisi lemah masih saja dihujat? Apakah tidak cukup hanya dengan diam bila tidak bisa berkata baik?. Saya pun memutuskan untuk ikut berkomentar agar netizen bisa sedikit berempati kepada laki-laki tersebut, namun ternyata komentar saya dibalas dengan rasa ketidaksukaan yang besar.
Tujuh belas balasan masuk pada komentar saya. Sebagian besar berkata bahwa yang memiliki masalah bukan hanya laki-laki itu, tapi juga mereka semua, lalu mengapa laki-laki itu sangat rapuh dan merepotkan banyak orang. Sungguh hal yang sangat lucu! Orang yang memiliki pikiran jernih harusnya tahu bahwa orang yang sedang depresi tidak mampu memikirkan jalan keluar. Apa yang laki-laki itu lakukan merupakan gejala depresi, karena jelas laki-laki itu merasa putus asa dan memikirkan mengenai kematian. Oleh sebab itu, kurang pas sekiranya cara berpikir orang yang sedang depresi disamakan dengan cara berpikir kita. Jelas sangat berbeda, karena orang depresi tidak mampu berpikir jernih.
Orang dalam kondisi depresi, rasa keputus asaannya tinggi sehingga pikirannya kalut dan tidak mampu mencari solusi masalahnya dengan baik. Oleh karena itu, orang-orang disekitarnya perlu menunjukkan empati. Karena dengan seperti itu, dia akan merasa memiliki secercah harapan dalam hidupnya. Melihat bagaimana balasan dari komentar saya, sepertinya banyak yang belum paham apa sebenarnya empati itu.
Banyak dari mereka mengira jika membela laki-laki itu maka saya menyetujui tindakannya. Padahal berempati dan menyetujui adalah dua hal yang berbeda. Dalam KBBI empati diartikan sebagai keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Artinya ketika berempati, saya berusaha menempatkan cara pandang saya pada kondisi orang tersebut tanpa harus memihak atau menyetujuinya. Sedangkan ketika saya menyetujui berarti saya memihak dan mungkin bisa mendukung tindakannya juga.
Saya belajar bahwa dalam kehidupan ini tidak patut merasa paling benar, karena saya hanyalah manusia. Saya juga menyadari bahwa terkadang kita mengalami perputaran kehidupan, terkadang saya merasa kuat secara fisik dan mental, namun terkadang juga sebaliknya. Maka upaya kita menunjukkan empati pada sesama sesungguhnya adalah menabur benih cinta dari kasih sayang Tuhan.
Penulis: Isyti Karimah, Book enthusiast