Kutubdotco—Dalam beberapa tahun terakhir, keterlibatan perempuan Indonesia di ruang digital menunjukkan peningkatan yang signifikan. Namun, meskipun akses terhadap teknologi digital semakin terbuka, berbagai tantangan dan kerentanan masih menjadi penghalang utama bagi perempuan di era digital ini. Agnes Gurning, perwakilan dari United Nations Development Programme (UNDP), menguraikan pandangannya mengenai situasi ini dalam sebuah wawancara baru-baru ini.
Kemajuan dan Tantangan di Ruang Digital
Agnes Gurning, Gender Analyst UNDP Indonesia menyebutkan bahwa akses perempuan ke ruang digital memang telah meningkat. Namun, laporan tahunan dari Komnas Perempuan yang dirilis pada bulan Maret 2024 menunjukkan bahwa perempuan masih menghadapi berbagai kerentanan khusus di dunia digital.
“Kalau berbicara ruang digital perempuan sekarang, ada kemajuan dalam arti akses sepertinya sudah mulai meningkat, tetapi dari laporan-laporan yang ada seperti catatan tahunan Komnas Perempuan yang Maret lalu dirilis, tetap ruang digital ini perempuan punya kerentanan tersendiri,” ungkapnya.
Agnes menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga jenis kerentanan yang diidentifikasi oleh Komnas Perempuan: kekerasan siber berbasis gender, layanan keuangan digital yang ilegal, dan risiko distorsi visualisasi perempuan di media sosial. Ia menyoroti bahwa perempuan sering menjadi target kekerasan siber dan peminjaman online ilegal.
“Komnas Perempuan mencatat ada kekerasan siber berbasis gender, layanan-layanan keuangan digital yang sekarang makin marak, juga masih memunculkan kerentanan tersendiri bagi perempuan,” jelasnya.
Regulasi dan Literasi Digital
Menanggapi pertanyaan mengenai langkah-langkah yang perlu diambil untuk mengatasi kerentanan ini, Agnes menekankan pentingnya penguatan kerangka regulasi dan peningkatan literasi digital. Ia menyebut bahwa meskipun sudah ada beberapa regulasi yang mengatur ruang digital, seperti UU TPKS, UU ITE, dan KUHP, masih terdapat celah yang perlu diisi untuk memastikan perlindungan yang lebih baik bagi perempuan.
“Kerangka aturan yang mengatur ruang digital ini masih perlu banyak diperkuat,” kata Agnes. “Misalkan Komnas Perempuan sendiri mencatat memang ada regulasi sekarang yang mengatur area digital ini ada UU TPKS, juga ada kekerasan seksual berbasis online ada masuk di sana, UU ITE juga mengatur tentang ini, KUHP undang-undang perlindungan data pribadi juga ada komponen yang mengatur tentang ranah digital ini, tetapi di produk-produk hukum tersebut masih menyisakan ruang-ruang kosong juga yang memastikan perlindungan terhadap perempuan.”
Selain penguatan regulasi, Agnes juga menekankan pentingnya peningkatan literasi digital bagi perempuan. Ia mengungkapkan bahwa rendahnya literasi digital perempuan membuat mereka rentan terhadap pinjaman online ilegal dan kekerasan berbasis gender di media sosial.
“Kenapa perempuan menjadi angka tertinggi pengguna pinjol karena memang kecenderungannya literasi perempuan terhadap media digital relatif masih rendah, ini yang rentan disasar jadi korban-korban pinjol,” tuturnya.
Peningkatan Kesadaran dan Pendidikan
Agnes juga menyoroti bahwa peningkatan literasi digital tidak hanya sebatas pada kemampuan menggunakan teknologi, tetapi juga mencakup pemahaman tentang risiko kekerasan berbasis gender di dunia maya. Ia merujuk pada catatan Komnas Perempuan yang mengindikasikan bahwa kekerasan seksual berbasis elektronik menjadi yang paling tinggi dalam dua tahun terakhir.
“Peningkatan literasi digital perempuan ini juga menjadi salah satu indikasi yang akan menunjukkan perbaikan,” jelasnya.
“Literasi tidak hanya dalam hal penggunaan digital security tetapi juga risiko tentang kekerasan berbasis gender yang terjadi di media sosial, pemahaman tentang itu juga ikut mempengaruhi.”
Menurut Agnes, peningkatan jumlah pelaporan kekerasan berbasis gender di ruang digital menunjukkan adanya peningkatan kesadaran, meskipun masih banyak yang harus diperbaiki. “Namun karena adanya dan banyaknya pelaporan ini menjadi sedikit ada peningkatan untuk bisa ditangani,” pungkasnya.
Dalam menghadapi tantangan di ruang digital, perempuan Indonesia memerlukan dukungan regulasi yang kuat dan peningkatan literasi digital. Dengan demikian, diharapkan perempuan dapat lebih aman dan berdaya dalam memanfaatkan teknologi digital untuk kehidupan yang lebih baik.
Sementara itu, Nita Kusuma, anggota Perempuan Hindu Dharma Indonesia Kota Bandung, menyampaikan pandangannya tentang ruang digital yang semakin berkembang pesat di era ini. Ia membahas dampak positif dan negatif dari ruang digital, tantangan yang dihadapi, serta harapannya agar perempuan dapat lebih bijak dalam menggunakan media sosial.
Menurut Nita Kusuma, ruang digital memiliki dua sisi yang perlu diperhatikan dengan cermat. Di sisi positif, ruang digital dapat menjadi sumber pengetahuan dan edukasi yang luas, serta alat untuk memberikan dukungan dan edukasi antar perempuan. “Ruang digital bisa membantu kita apabila mengalami kesulitan dalam banyak hal dan menambah pengetahuan kita,” ungkapnya.
Namun, Nita juga mengingatkan adanya sisi negatif yang tidak boleh diabaikan. “Ruang digital bisa menjadi bumerang apabila kita tidak memikirkan terlebih dahulu sebelum berbagi. Masih banyak perempuan yang mengetik lebih cepat daripada berpikir, sehingga merugikan diri sendiri dan orang lain. Kehilangan privasi juga menjadi risiko karena segala sesuatu dibagikan tanpa memilah terlebih dahulu,” tambahnya.
Tantangan terbesar yang dihadapi, menurut Nita, adalah bagaimana perempuan harus lebih bijak dan selektif dalam membagikan informasi di ruang digital. “Jangan sampai freedom of speech kita kebablasan di ruang digital ini. Jejak digital susah untuk dihilangkan,” katanya.
Nita berharap agar setiap pengguna media sosial lebih menjaga privasi dan bijak dalam mengelola ruang digital mereka. Ia menekankan pentingnya menyebarkan berita yang benar dan edukatif serta berhenti menyebarkan hoaks. “Freedom of speech di ruang digital itu persebarannya jauh lebih cepat, jadi apabila menemukan berita hoax, cukup hentikan di kamu jangan disebar luaskan,” ujar Nita.
Sebagai anggota Perempuan Hindu Dharma Indonesia, Nita aktif dalam menyuarakan dan mengedukasi sesama perempuan, khususnya dalam mendukung satu sama lain di jalan yang positif. “Saya berusaha menyuarakan dan mengedukasi teman-teman, khususnya perempuan, bahwa sesama perempuan harus saling mendukung di ruang digital,” katanya.
Menanggapi pertanyaan tentang keamanan ruang digital bagi perempuan, Nita berpendapat bahwa ruang digital saat ini masih belum aman sepenuhnya. “Masih banyak media digital dengan pemberitaan yang selalu menyebutkan perempuan dengan konotasi kurang aman dan nyaman. Banyak kasus dan postingan di media digital yang menunjukkan hal ini,” tutupnya.
Dengan berbagai tantangan yang ada, Nita Kusuma terus mengajak perempuan untuk lebih bijak dan cerdas dalam menggunakan ruang digital demi menciptakan lingkungan yang lebih aman dan positif.
Artikel ini diproduksi sebagai bagian dari proyek Women Media Collabs
(https://jurnalisme.id/womenmediacollabs/) didukung oleh UNDP Indonesia”