Kutub.co– Penafsiran Ulang atas Teks Agama yang Diskriminatif
Kendatipun semangat Islam adalah egalitarianisme, perempuan butuh effort lebih untuk berdiri sederajat dengan laki-laki. M. Kholid Syeirazi dalam bukunya, Wasathiyah Islam Memahami Anatomi, Narasi, dan Kontestasi Gerakan Islam, menjelaskan bahwa di sejumlah negara Islam, perempuan dibatasi kiprahnya di
sektor domestik. Jangankan menjadi pemimpin politik, haknya untuk bekerja dan beraktivitas di luar rumah bahkan dibatasi. Justifikasi yang digunakan adalah nash keagamaan yang ditafsirkan “diskriminatif” terhadap perempuan.
Hal ini diperkuat dengan catatan yang ditulis di dalam buku Perempuan (Bukan) Sumber Fitnah, karya Dr Faqihuddin Abdul Kodir. Kerancuan pandangan terkait perempuan sebagai sumber fitnah terbukti didasari oleh nash keagamaan. Menurut dosen IAIN Cirebon Syekh Nurjati ini, terdapat teks agama yang salah dipahami, bahkan dipahami secara diskriminatif.
Teks agama tersebut ialah hadis dari Usamah bin Zaid ra. dari Nabi Muhammad saw. yang menyebutkan, “Tidak aku tinggalkan setelahku suatu fitnah (ujian) yang paling berat bagi laki-laki kecuali (ujian mengenai pesona) perempuan”.
Menurutnya, teks itu seakan-akan menghakimi perempuan sebagai sumber masalah, sedangkan laki-laki menjadi korban. Secara eksplisit, teks hadis itu menegaskan laki-laki agar tidak terjerumus terhadap pesona (fitnah) perempuan. Akibatnya, perempuan yang bekerja, berkakrir, dan berorganisasi dianggap sebagai sumber keretakan rumah tangga atau dianggap sebagai perempuan yang tidak becus mengurus keluarga.
Padahal dalam hadis itu, pesona (fitnah) perempuan hanya contoh saja (tamsil). Oleh karena itu, laki-laki juga sebenarnya bisa jadi sumber fitnah, bahkan laki-laki bisa lebih terpesona dengan godaan kekuasaan dan harta karena ambisi dan keinginan yang membelenggu jiwanya.
Melalui tafsir mubadalah, hadis itu mengajarkan bahwa segala bentuk dalam kehidupan merupakan ujian dan fitnah, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian perempuan dan laki-laki harus meningkatkan kebaikan serta menjaga diri dari keburukan, sebagaimana tercantum dalam al- Quran Surat al-Mulk [67] ayat 1-2.
Sama halnya dengan fitnah dan ujian yang tidak mengarah pada satu gender saja, perempuan dan laki-laki juga punya hak yang sama dalam memuliakan dirinya dengan menjadi makhluk yang baik. Kalis Mardiasih dalam buku Sister Fillah, You’ll Never Be Alone, menyebutkan bahwa kata “dimuliakan” bersifat pasif sehingga kemuliaan seolah-olah hanya bisa hadir dari pihak di luar diri perempuan
itu sendiri. Kemuliaan tidak akan terwujud jika perempuan tidak punya akses pada kesetaraan.
Peran Perempuan dalam Melawan Stigma
Perempuan yang menentang stigma sebagai sumber fitnah sering terlibat dalam kegiatan advokasi dan organisasi yang bertujuan untuk mempromosikan kesetaraan gender dan menghentikan diskriminasi. Para perempuan harus aktif di dalam kelompok aktivis, lembaga nirlaba, dan jaringan yang berfokus pada pendidikan, pengembangan keterampilan, dan dukungan sosial bagi perempuan. Langkah-langkah ini membantu membangun solidaritas dan menguatkan suara perempuan dalam memperjuangkan hak-hak perempuan.
Perempuan telah memanfaatkan kekuatan media sosial sebagai alat untuk melawan stigma dan mengubah persepsi yang merugikan. Melalui platform- platform seperti Tiktok, Twitter, Facebook, dan Instagram, perempuan berbagi kisah-kisah pribadi, pengalaman hidup, dan pandangan tentang isu-isu yang berkaitan dengan stigma sebagai sumber fitnah. Penggunaan media sosial ini memungkinkan perempuan untuk membentuk jaringan dan memperoleh dukungan dari komunitas yang lebih luas.
Perlawanan terhadap stigma sebagai sumber fitnah juga dilakukan melalui pendidikan dan penyadaran. Perempuan yang menyadari pentingnya mengubah narasi yang merugikan ini terlibat dalam upaya edukasi, baik di tingkat komunitas maupun di tingkat nasional. Perempuan memberikan pelatihan, seminar, dan ceramah untuk meningkatkan pemahaman tentang kesetaraan gender, mendorong pemikiran kritis, dan mempromosikan inklusi sosial.
Perlawanan perempuan terhadap stigma sebagai sumber fitnah adalah gerakan yang penting dalam mencapai kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Melalui advokasi, penggunaan media sosial, dan pendidikan, perempuan telah mengubah persepsi, meningkatkan kesadaran, dan meningkatkan partisipasi perempuan dalam berbagai bidang kehidupan. Meskipun tantangan masih ada, langkah-langkah yang telah diambil oleh perempuan ini memberikan
inspirasi dan motivasi bagi semua pihak untuk terus melawan stigma dan membangun masyarakat yang lebih inklusif dan setara.