Kerinduan Akan Cara Beragama yang Ramah Isu Perempuan dan Kemanusiaan

Hasemi

No Comments

Kutub.co-Kehidupan kita bukan hanya bicara soal gagal panen dan kurang gizi. Tetapi diabetes, sakit “kolestrol”, dan obesitas. Manusia bukan hanya melahirkan generasi z, alfa, dan beta yang piawai berinteraksi dengan kecerdasan buatan. Juga mendidik generasi yang siap dikapitalisasi dengan mencintai barang branded, gagap viral, bahkan dimiskinkan dengan kontrak kerja. Kini kita hidup di planet yang menjadikan tisu lebih eco-friendly sekaligus konsesi tambang dan lahan sawit dibuka secara agresif tiada henti.

Perang, deforestasi, korupsi, utang pinjaman daring, kekerasan seksual, dan penolakan rumah ibadah tidak pernah absen dari keseharian kita. Tentu ini sangat menyedihkan. Apalagi manusia telah menandatangi ratusan perjanjian internasional, menemukan berbagai obat dan vaksin, hingga menciptakan teknologi pembayaran digital yang cepat dan akurat. Kita ditantang untuk melihat lebih jauh lagi ke dalam inti peradaban manusia, menelisik apakah ada yang salah pada cara kita menjadi manusia?

Ada kesenjangan yang begitu jauh, tentu artinya ada masalah yang sangat serius pada persoalan kemanusiaan kita. Distribusi sumber daya nyatanya tidak berpegang pada prinsip yang berkeadilan. Hanya sebagian kalangan saja yang mendapat keuntungan berkali-kali lipat, sedangkan manusia lainnya mengalami peminggiran dari pusat kekuasaan. Betul, melalui fenomena ini menunjukkan bahwa manusia tetaplah sebuah spesies yang hidup berdasar naluri seleksi alam yang egoistik. Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Manusia mempertontonkan kalau yang paling kuat adalah pemenangnya.

Di antara semua konfilk, kekerasan, dan segala bentuk ketidakadilan tersebut, perempuan adalah kelompok yang paling dirugikan. Dalam dinamika kuasa yang begitu hebat, perempuan bertubi-tubi dimiskinkan secara struktural, kultural, bahkan epistemik. Ilmu pengetahuan, teknologi, dan pembangunan berpusat pada cara beradanya laki-laki. Dengan demikian, tentu tidak menyertakan pengalaman khas perempuan. Bahkan objektivikasi terhadap perempuan menjadikannya sebagai kelompok yang rentan dilecehkan malah diperkosa dari konteks domestik, ekonomi, hingga ancaman senjata politik.

Kapitalisme mengeksploitasi tubuh perempuan demi keuntungan komersial, bersama dengan norma-norma yang berbahaya menciptakan standar kecantikan yang sempit. Perempuan diajak jatuh cinta pada barang-barang kenamaan sebagai simbol kemakmuran, ini menunjukkan terbangunnya budaya yang memiskinkan perempuan. Di luar sana, perempuan makin terstigma sebagai kelompok gender yang matre. Ekspansi industri seperti ini juga berdampak secara signifikan pada krisis iklim. Atas masalah yang sama, perempuan perdesaan kehilangan akses pada sumber daya penghidupannya.

Namun demikian, semua hal ini bertentangan dengan citra kepribadiannya yang unik. Peradaban manusia telah mengembangkan suatu mekanisme moral altruisme. Agama menjadi satu di antara banyaknya sumber yang melahirkan etika tersebut. Melalui berbagai pengajaran, tradisi, ritus, dan pustaka, para suci bertubi-tubi datang ke dunia manusia untuk mengingatkan tentang pentingnya nilai-nilai keugaharian, keadilan, kasih sayang, perdamaian, dan kemanusiaan. Agama adalah titik vokal yang kritis, menginstrupsi cara kerja zaman yang sewenang-wenang, termasuk merespons kemanusiaan perempuan yang punya martabat. Agama adalah sebuah kesadaran yang mengartikulasi kegelisahan sosial bagi praktik yang menindas.

Sayangnya seiring berjalannya waktu, agama juga kerap kali terjatuh pada petaka yang dihadapinya. Ia bukan solutif, malah berselingkuh dengan kekuasaan yang kasar. Agama kian menjauh dari realitas sosial, malah memperburuk jurang ketimpangan yang ada. Interpretasi kitab suci telah mengalami pembajakan untuk agenda dehumanisasi. Narasi keagamaan yang patriarkal dimonopoli untuk sekadar memenangkan perang, pasar, dan ambisi partai murahan.

Banyak tragedi kekerasan berbasis gender dan seksual yang terjadi di lingkungan keagamaan. Agama menjadi pemikat manipulatif untuk menindas perempuan. Banyak interpretasi ajaran yang menjegal perempuan untuk menafsir, mengajar, dan pemimpin komunitas religius. Dalam struktur ini, perempuan berdiam di ruang domestik, menjadi kaum awam, bahkan dipojokkan sebagai sarang dosa. Sisanya tokoh dan lembaga keagamaan serempak membungkam diri dari suara kenabiannya.

Ketimbang menyemai pandangan yang inklusif dan humanis, cara beragama kita lebih menyukai ekspresi yang meriah, mewah, dan melimpah-limpah. Rasanya ada yang hilang, kalau lebaran tanpa baju baru, natal tanpa kerlap-kerlip pohon cemara, imlek tanpa kembang api, atau waisak tanpa lampion. Budaya konsumtif ini menunjukkan religiusitas dan spiritualitas yang kosong. Umat beragama lebih terpesona pada keselamatan dan pembebasan personal, tidak ada visi bagi kehidupan bersama. Sungguh menyedihkan, agama telah lenyap dari kehidupan perempuan dan para jelata.

Agama sudah melewati banyak masalah zaman, harunya ia lebih “pro” merespons padaroks ini. Para penganutnya harus segera berhenti dari perdebatan mana yang lebih adil di antara hukum karma atau siksa neraka. Habis sudah masanya klaim kebenaran yang didominasi oleh laki-laki. Ketimbang menjadi percakapan yang langitan, dunia lebih membutuhkan praktik-praktik religius harian yang mendahulukan integritas dan kepedulian terhadap sesama. Kita butuh visi agama yang aktual dan ramah gender, yang berada dalam ruang teladan. Ia harusnya produktif melahirkan pandangan-pandangan yang segar dan responsif, khususnya bagi mereka yang miskin, marginal, dan minoritas.

Di dalam kerinduan akan kemanusiaan purba kita yang tunggal, agama tidak boleh bungkam dan menutup mata atas realitas ketidakadilan. Nurani yang suci harus bergerak menembus batas-batas kekakuan, menyapa mereka yang disingkirkan. Elit religius harus menjadi alit (kecil) untuk bergaul dan mengalami situasi sulit itu. Dengan kesediaannya membawa kabar pembebasan dan keselamatan dari dosa, penderitaan, kenajisan, dan kebodohan, agama tidak mungkin alergi dari masalah yang dihadapinya. Pada akhirnya, agama akan kembali berwajah ramah, menyapa perempuan dan semua orang. Agama datang untuk manusia dengan membawa pesan kegembiraan bukan ketakutan.

Keberagaman, kemanusiaan, Keterlibatan Perempuan, Perempuan, Ramah isu

Artikel Lainnya

Luar Biasa! Siswi SMAS Unggul Ar-Rahman Sukabumi, Fathimah Azzahra Firdaus Berhasil Hafal 30 Juz Al-Qur’an

Begini Caranya Supaya Humblebrag tidak Jadi Toxic

Menghadapi Ancaman di Dunia Maya: Memahami dan Mengatasi Cyberbullying

Leave a Comment