Kutub.co– Stigma terhadap perempuan telah terjadi dalam kurun waktu yang sangat panjang. Dibutuhkan waktu, tenaga, dan perjuangan yang tidak sedikit bagi perempuan untuk mendapatkan posisi yang setara dengan laki-laki. Stigma yang melekat pada perempuan menjadi penyebab utama munculnya diskriminasi terhadap mereka. Hal ini juga berlaku bagi perempuan penghayat yang menghadapi stigma tambahan berdasarkan keyakinan mereka. Perempuan penghayat seringkali dilabeli sesat, klenik, animisme, dinamisme, dan lain-lain. Mereka tidak hanya menjadi minoritas dalam konteks gender, tetapi juga dalam konteks keyakinan.
Bagaimana stigmatisasi sosial terhadap perempuan ini mempengaruhi konsep diri mereka, khususnya perempuan penghayat?
Setiap perempuan seharusnya mempunyai hak dan kedudukan yang sama dengan laki-laki dalam berpikir, berpendapat, dan bertindak. Namun, seringkali konsep ini tidak sesuai dengan realitas kehidupan. Perempuan penghayat yang terstigma mengalami double burden. Kondisi ini membatasi diri mereka. Perempuan mempunyai hak untuk bermimpi, tetapi belum tentu mereka yakin bisa bermimpi. Mereka mempunyai hak untuk berpendapat, tetapi belum tentu berkenan menyuarakannya. Mereka juga mempunyai hak untuk bertindak dan menjadi pemimpin, tetapi belum tentu berani mengambil kesempatan itu. Stigma berbasis keyakinan menambah kekhawatiran dan ketakutan, yang kemudian menimbulkan keengganan. Akibatnya, perempuan penghayat seringkali memilih untuk membatasi diri mereka sendiri.
Padahal, perempuan penghayat dapat menyuarakan aspirasi mereka sebagai bagian dari masyarakat, sama seperti perempuan dari agama lain. Perempuan dapat mengembangkan diri mereka menjadi lebih baik dan setara dengan laki-laki apabila mereka memahami bahwa konsep diri yang positif merupakan kunci dari perubahan. Konsep diri yang positif perlu ditanamkan dalam diri setiap perempuan, termasuk perempuan penghayat, agar mereka dapat menumbuhkan rasa kepercayaan diri bahwa menjadi perempuan bukan berarti harus selalu berada di posisi yang terbelakang.
Dengan memahami dan menerapkan konsep diri yang positif, perempuan penghayat dapat mengatasi stigmatisasi sosial dan meraih hak-hak mereka sepenuhnya. Ini adalah langkah penting untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan setara, di mana setiap individu dihargai tanpa memandang gender atau keyakinan.
Penulis : Nanda Shelly Susanti
Artikel ini memperoleh dukungan dari Fatayat NU Jawa Barat & INFID dalam rangka konsorsium INKLUSI