Kutub.co-Tidak semua orang memulai hidup dengan keunggulan yang terlihat. Bagi Maya, dunia tidak pernah hadir dalam rupa warna atau cahaya. Ia lahir tanpa penglihatan, dan sejak itulah, hidupnya adalah tentang meraba realitas dengan indera yang lain. Namun dari keterbatasan itu, justru muncul kekuatan: kekuatan untuk bertahan, untuk bermimpi, dan untuk mencintai dirinya sendiri.
Bagi Maya, dunia bukan tentang apa yang tampak, melainkan tentang apa yang terasa. Ia mengenali ibunya dari getaran langkahnya, mengenali teman dari aroma tubuhnya, dan membedakan jenis bunga dari harum yang halus namun khas. Setiap permukaan yang ia sentuh menjadi peta, setiap hembusan angin membawa cerita. Dalam diam, ia belajar meresapi hidup lewat getaran dan kepekaan yang luar biasa.
Di masa kecil, Maya sempat diliputi banyak pertanyaan: “Mengapa aku berbeda?” atau “Mengapa aku tidak bisa melihat dunia seperti orang lain?” Ada masa penuh frustrasi, bahkan penolakan terhadap diri sendiri. Tapi perubahan dimulai ketika ia menyadari bahwa menerima kenyataan bukan berarti menyerah melainkan langkah pertama untuk berdamai.
Ia mulai belajar bahwa cinta sejati tidak datang dari luar, melainkan tumbuh dari dalam. Menyayangi diri sendiri berarti memberi ruang untuk lelah, memaafkan luka lama, dan tetap berdiri meski dunia tak selalu berpihak.
Dalam perjalanan itu, Maya menemukan sesuatu yang mengubah hidupnya: seni memahat. Tanpa bantuan visual, jari-jarinya menjadi alat ekspresi. Dengan bongkahan kayu atau tanah liat, ia membentuk sosok-sosok penuh emosi enyum, pelukan, atau tarian. Ia “melukis” kebahagiaan lewat sentuhan. Orang-orang yang melihat karyanya sering tak percaya bahwa pembuatnya tidak bisa melihat sama sekali.
Namun Maya tidak menciptakan dari apa yang tampak, melainkan dari apa yang ia rasa. Inilah kekuatannya: mengubah diam menjadi karya, mengubah batas menjadi bahasa.
Tentu tak semua orang melihatnya setara. Ada pandangan iba, ada keraguan yang meragukan kemampuannya. Beberapa kesempatan pameran bahkan ditutup hanya karena ia seorang difabel. Tapi Maya tak mundur. Ia menjadikan penolakan sebagai dorongan, dan kritik sebagai cambuk semangat. Orang tua, guru, dan teman-teman yang mendukungnya adalah lingkaran kecil yang terus menyemangati untuk melangkah.
Kisah Maya bukan sekadar tentang difabilitas atau seni. Ini adalah cerita tentang kekuatan manusia untuk berdamai dengan keadaan, mencintai diri sendiri, dan membangun makna dari keterbatasan. Ia mengingatkan kita bahwa sebelum mampu mencintai orang lain dengan tulus, kita harus lebih dulu mencintai rumah pertama kita: diri sendiri.
“Melukis Senyum dalam Diam” adalah kisah yang mengajak kita menengok ke dalam, menghargai perjuangan yang sering tak terdengar, dan menyadari bahwa setiap orang memiliki cahaya di balik gelapnya hari-hari. Maya telah menemukannya dan ia mengukirnya dalam setiap karya yang ia ciptakan.