Kutub.co– Kutubers, Pernah dengar soal kerusuhan Mei 1998? Atau justru kamu bertanya-tanya, “Emang ada ya?” Akhir-akhir ini, dunia maya diramaikan oleh pernyataan seorang pejabat yang mempertanyakan kebenaran pemerkosaan massal dalam tragedi 1998.
Pernyataan itu datang dari Fadli Zon, yang saat ini menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, yang mengatakan, “Perkosaan ’98 itu rumor. Gak ada yang tahu. Gak pernah tercatat di buku sejarah.” Pernyataan ini sontak memicu gelombang kekecewaan dan kemarahan, terutama bagi mereka yang mengalami langsung atau keluarga korban. Bagi kita, generasi Z yang lahir jauh setelah peristiwa itu, mungkin ini jadi momen untuk bertanya: apa sih sebenarnya yang terjadi? Dan mengapa pengingkaran sejarah bisa menyakiti kemanusiaan kita?
kami mengajak kamu menyelami fakta-fakta kelam di balik kerusuhan Mei 1998, khususnya mengenai kekerasan seksual yang dialami banyak perempuan. Kita akan melihat mengapa pernyataan yang meremehkan fakta ini bukan cuma salah, tapi juga melukai para korban dan mengikis empati kita sebagai manusia.
Tragedi Mei 1998: Sedikit Kilas Balik
Bayangkan, di tahun 1998, Indonesia sedang berada di titik krisis. Ekonomi lesu, harga kebutuhan pokok melambung tinggi, dan gelombang demonstrasi menuntut reformasi makin besar. Puncaknya terjadi pada Mei 1998, di mana kerusuhan melanda berbagai kota besar, terutama Jakarta. Toko-toko dijarah, gedung-gedung dibakar, dan banyak nyawa melayang. Di tengah kekacauan itu, laporan-laporan tentang kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan massal, mulai mencuat ke permukaan. Ini adalah bagian kelam yang kerap berusaha ditutupi atau diremehkan.
Kekerasan Seksual: Bukan “Rumor”, Tapi Fakta yang Terbukti
Setelah kerusuhan mereda, desakan untuk mengungkap kebenaran muncul. Dibentuklah Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kerusuhan Mei 1998. Tim ini bekerja keras mengumpulkan bukti dan kesaksian. Melansir laporan TGPF, tim ini menemukan fakta-fakta mengerikan: ada 52 korban kekerasan seksual, yang meliputi pemerkosaan, penganiayaan seksual, dan pelecehan seksual. Jumlah ini bisa jadi lebih besar, mengingat trauma dan stigma yang membuat banyak korban memilih bungkam.
Bahkan, Presiden B.J. Habibie, yang saat itu menjabat, secara terbuka mengakui adanya peristiwa pemerkosaan dalam kerusuhan tersebut. Melansir data Komnas Perempuan, lembaga ini juga telah mengumpulkan banyak data dan kesaksian yang menguatkan temuan TGPF. Artinya, ini bukan isapan jempol, bukan cerita fiksi, apalagi “rumor”. Ini adalah fakta sejarah yang pahit, yang dialami oleh perempuan-perempuan Indonesia.
Empati yang Terkikis? Mengapa Pernyataan Pejabat Begitu Menyakitkan
Ketika seorang pejabat publik melontarkan pernyataan seperti “Perkosaan ’98 itu rumor. Gak ada yang tahu. Gak pernah tercatat di buku sejarah,” dampaknya sangat besar. Bagi para penyintas, pernyataan seperti itu bukan hanya menyakitkan, tapi juga seperti mengoyak luka lama yang belum sembuh. Ini seolah mengatakan, “Penderitaanmu tidak nyata,” atau “Kamu berbohong.”
Lebih dari itu, pengingkaran sejarah juga berisiko mengikis empati kita sebagai manusia. Jika kita dengan mudah menihilkan penderitaan orang lain, terutama mereka yang rentan, maka kemanusiaan kita pun patut dipertanyakan. Pernyataan semacam ini bisa menciptakan narasi yang salah, membiarkan pelaku kekerasan bebas tanpa pertanggungjawaban (impunitas), dan menghalangi upaya rekonsiliasi serta keadilan bagi korban. Bagi generasi kita, ini penting: kita tidak bisa membangun masa depan yang lebih baik di atas kebohongan atau pengingkaran sejarah.
Belajar dari Masa Lalu untuk Masa Depan
Sebagai generasi muda, kita punya peran penting. Kita hidup di era informasi, di mana kita punya akses ke berbagai data dan perspektif. Jangan mudah percaya pada satu klaim, apalagi yang datang dari pihak yang punya kepentingan. Cari tahu lebih dalam, baca berbagai sumber, dan dengarkan suara-suara yang sering terpinggirkan, terutama suara para korban.
Tragedi 1998, termasuk kekerasan seksual di dalamnya, adalah pengingat bahwa kekerasan bisa terjadi pada siapa saja, dan perempuan seringkali menjadi target yang paling rentan. Dengan memahami dan mengakui fakta sejarah ini, kita tidak hanya memberikan keadilan bagi para korban, tapi juga belajar untuk mencegah terulangnya kekejaman serupa di masa depan. Mari kita jadi generasi yang tidak melupakan sejarah, yang berani bersuara untuk kebenaran, dan yang selalu menjunjung tinggi empati serta kemanusiaan.