Kutub.co– Pada paruh terakhir bulan Maret 2024, saya mengikuti pelatihan “Modul Jurnalistik Inklusif untuk Kesetaraan dan Kebangsaan” di Kota Bandung. Perjalanan saya dari Ciamis ke Bandung menggunakan travel terasa lebih ringan ketika saya bertemu seorang perempuan di lobi hotel yang juga akan mengikuti pelatihan yang sama. “Teteh ikut pelatihan juga, kan?” tanya saya. Ia menjawab dengan anggukan mantap, dan kami bersama-sama menuju lantai UM, tempat pelatihan berlangsung.
Di ruangan UM, kami berkenalan dengan peserta lain yang sudah datang lebih dulu. Ternyata, perempuan yang saya temui adalah teman dari teman saya yang tidak bisa hadir. Dia menggantikan temanku yang berhalangan. Namanya Salima, dan ia memperkenalkan dirinya sebagai anggota Lajnah Imaillah, komunitas perempuan Ahmadiyah.
“Saya adalah Salima dari Lajnah Imaillah Kota Bandung,” tuturnya dengan senyum lebar. Salima lahir di Bandung 23 tahun yang lalu. Ia merupakan anak kedua dari empat bersaudara, dan saat ini masih berkuliah di Universitas Padjajaran. Percakapan kami semakin akrab, terutama ketika saya mulai menanyakan tentang Ahmadiyah dan Lajnah Imaillah.
“Saya punya kenalan dosen yang juga merupakan bagian dari Lajnah Imaillah,” ujarku, mengingat seorang dosen yang selalu berkesan.
“Oh ya?” balas Salima dengan mata berbinar.
Perjuangan Melawan Diskriminasi Ahmadiyah
Dalam perbincangan kami, Salima mengungkapkan bahwa Ahmadiyah sering kali dilabeli berbeda, bahkan sesat, dibandingkan aliran Islam lainnya. Meskipun ia tidak mengalami diskriminasi secara akademik dan administratif, ia merasa tidak bebas menyatakan identitasnya di ranah sosial. Ada perasaan takut dan tidak aman yang selalu menghantui.
“Kami sering khawatir dengan tanggapan sosial ketika menunjukkan identitas atau berekspresi bebas. Meski saya pribadi belum mengalami diskriminasi sosial, banyak perempuan Ahmadi lainnya yang menghadapi pengalaman tidak menyenangkan di bidang sosial, akademik, atau administratif,” jelas Salima.
Aktualisasi Diri di Bidang Publik dan Domestik
Salima menyesuaikan aktualisasi dirinya dengan moto yang diusung oleh Khalifah ke-3 Jemaat Ahmadi, Hazrat Khalifatul Masih III, yaitu “Love for all, hatred for none.” Moto ini diterapkan dengan menyebarkan ajaran cinta kepada seluruh makhluk di muka bumi.
“Banyak hal yang bisa dilakukan untuk menunjukkan cinta ini, seperti meningkatkan potensi diri, mendirikan sekolah dan rumah sakit, sering melakukan donor darah dan donor mata hingga Jemaat Ahmadiyah mendapatkan rekor MURI,” jelasnya.
Melalui kegiatan-kegiatan ini, Salima dan komunitasnya berusaha untuk menerima diri mereka sepenuhnya, tidak mudah menyerah atau berpasrah pada keadaan, dan terus meningkatkan diri di tengah masyarakat.
Kisah Salima adalah salah satu dari banyak cerita inspiratif tentang perempuan Ahmadiyah yang berjuang melawan diskriminasi. Meski menghadapi banyak tantangan, mereka terus berusaha untuk menunjukkan bahwa cinta dan kasih sayang adalah jalan terbaik untuk mengatasi kebencian dan ketidakadilan.
Penulis: Eva PC Fatayat NU Ciamis
Artikel ini memperoleh dukungan dari Fatayat NU Jawa Barat & INFID dalam rangka konsorsium INKLUSI