Membaca Ulang Kekerasan: Apa yang Sebenarnya Kita Lawan di 16 HAKTP?

Hasemi

No Comments

Kutub.co – Setiap tahun, 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan kembali mengetuk kesadaran kita. Tetapi di tengah unggahan kampanye dan seruan solidaritas, muncul satu pertanyaan yang tidak nyaman: Apa sebenarnya yang sedang kita lawan? Dan apakah 16 hari cukup untuk menghadapi kekerasan yang terjadi sepanjang tahun?

Data CATAHU Komnas Perempuan 2024 mencatat lebih dari 330 ribu kasus kekerasan terhadap perempuan. Angka yang bukan sekedar statistik gelap melainkan gambaran tentang tubuh yang dilukai, suara yang dipadamkan, dan hak yang direbut.

Sebagian besar kasus justru terjadi di ruang domestik. Rumah, tempat yang seharusnya aman, sering kali berubah menjadi ruang kekerasan yang sulit dilirik oleh publik. Situasi ini menunjukkan bahwa akar permasalahan tidak hanya berada pada pelaku, tetapi pada struktur sosial yang menormalisasikan dominasi dan ketimpangan kuasa.

Aktivis dari Perempuan Mahardika, dalam berbagai kajiannya, menegaskan bahwa kekerasan berbasis gender tidak dapat dipisahkan dari kondisi kerja yang eksploitatif, ketimpangan ekonomi, dan patriaki yang merawat budaya menyalahkan korban. Di sektor informal, perempuan kerap menghadapi risiko ganda, tekanan ekonomi sekaligus kekerasan fisik, verbal, atau seksual.

Meski Indonesia telah memiliki UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), Implementasinya belum semulus yang diharapkan. Banyak korban masih berhadapan dengan aparat yang bias, layanan pendampingan yang terbatas, serta proses hukum yang melelahkan. Komnas Perempuan berkali-kali menekankan bahwa keberadaan regulasi tidak otomatis menjamin perlindungan jika sistem yang menjalankannya masih memandang korban dengan curiga.

Banyak perempuan memilih diam bukan karena ingin bungkam, tetapi karena masyarakat kerap memberi hukuman kedua yaitu menyalahkan mereka, mengintrogasi moralitas mereka, mempertanyakan kesaksian mereka, Di sinilah pentingnya gerakan ini, gerakan membuka ruang di mana cerita korban dapat dipercaya, didengar dan dipulihkan.

Gerakan feminis Indonesia, mulai dari Komnas Perempuan hingga jaringan komunitas seperti Perempuan Mahardika, LBH APIK, dan berbagai kolektif kampus, mengingat bahwa perlawanan terhadap kekerasan tidak boleh musiman. Ia melekat pada kerja advokasi, pendampingan, pendidikan publik, hingga perubahan kebijakan.

Kekerasan terhadap perempuan bukan isu pinggiran, ia adalah cermin bagaimana sebuah masyarakat memperlakukan kemanusiaan. Dan selama kekerasan masih dianggap biasa, kita punya alasan untuk terus bersuara lebih lantang, lebih tegas dan lebih terstruktur.

Penulis: Ii Nuraeni

#16HAKTP, beraktivitas, Perempuan, Remaja

Artikel Lainnya

Ini Alasan Kamu Jadi Gampang Marah saat Menstruasi

Metabolisme Tubuh: Fondasi Energi yang Sering Diabaikan

Preload Buah Membantu Menjaga Gula Darah Stabil

Leave a Comment