Melebihi Warna dan Label: Fesyen Perempuan sebagai Arena Eksplorasi Diri

Hasemi

No Comments

Kutub.co-Halo Kutubers, tau gaksihh? Fesyen itu bukan sekadar soal baju kece atau gaya yang lagi viral. Ternyata, fesyen adalah cara kita mengekspresikan diri semacam “bahasa diam” yang bisa mengungkapkan suasana hati, identitas, bahkan sikap hidup. Dari warna yang kita pilih sampai potongan outfit yang kita pakai, semuanya punya makna.

Cewek kue,” “cewek mamba,” “cewek Bumi” istilah-istilah ini viral di TikTok dan Instagram, menjadi semacam kode visual yang mengategorikan gaya berpakaian sekaligus kepribadian. Tren ini bukan sekadar permainan estetika, tetapi juga mencerminkan bagaimana perempuan muda Indonesia menavigasi identitas di tengah tekanan algoritma media sosial.

Namun, apakah fesyen hari ini benar-benar sekadar pengelompokan? Atau justru menjadi ruang eksperimen identitas tempat perempuan mengeksplorasi keberanian untuk berbeda?

Tren fesyen di kalangan perempuan muda Indonesia semakin dipengaruhi oleh konten digital. “Cewek kue” dengan warna pastel dan gaya feminin diasosiasikan dengan kepribadian ceria, sementara “cewek mamba” yang dominan hitam dianggap lebih misterius. Sementara itu, “cewek Bumi” mencerminkan gaya natural dan sederhana.

Yang menarik, label-label ini tidak lahir dari perancang busana ternama, melainkan dari kreator konten seperti @javamassie di TikTok. Ini menunjukkan pergeseran kekuatan tren dari industri mode ke tangan pengguna media sosial. Namun, di balik kebebasan berekspresi, ada tekanan halus: keharusan untuk “cocok” dengan suatu kategori agar diterima secara sosial.

Menurut Justine De Young, profesor seni dan sejarah mode di Fashion Institute of Technology, Manhattan, tren fesyen sulit diprediksi, baik oleh konsumen maupun desainer. Saat ini, media sosial memainkan peran dominan dalam membentuk tren. Dikutip dari Independent.co.uk, jika sebelumnya tren busana mengikuti ritme fashion week musiman, kini perubahan tren terjadi jauh lebih cepat bahkan hampir setiap minggu muncul gaya baru.

Sebagian besar perempuan muda Indonesia merasa tertekan untuk mempertahankan “aesthetic” tertentu di media sosial. Pertanyaan seperti, “Aku lebih cocok jadi cewek kue atau cewek mamba?” atau “Apakah outfit-ku cukup ‘Bumi’?” menjadi tanda bahwa pilihan fashion tak lagi sepenuhnya tentang kenyamanan, melainkan validasi.

Namun, bagi sebagian perempuan, tren ini justru menjadi alat eksplorasi. Mereka berganti gaya hari ini feminin, besok edgy sebagai bentuk pencarian jati diri.

Genderless Fashion: Ketika Pakaian Bukan Lagi Soal Gender

Perkembangan menarik lainnya adalah munculnya genderless fashion gaya yang mengaburkan batas maskulin dan feminin. Generasi Z Indonesia semakin terbuka dengan pakaian netral gender, seperti oversized outfits atau warna-warna earthy.

Ini bukan sekadar tren, tetapi gerakan melawan stereotip. Seperti dikatakan oleh desainer lokal Oki Setiana Dewi, “Fesyen seharusnya menjadi medium kebebasan, bukan penjara gender.”

Fesyen seharusnya tidak membatasi, melainkan memberi ruang untuk bereksperimen. eksplorasi gaya berpakaian dapat menjadi bentuk ekspresi kesehatan mental yang positif, asalkan didasari kesadaran diri, bukan sekadar ikut tren.

Di tengah dunia yang mendorong keseragaman, keberagaman gaya justru membuktikan bahwa identitas bersifat dinamis. Tidak masalah menjadi “cewek kue” hari ini dan “cewek mamba” besok, karena manusia tidak dirancang untuk masuk satu kotak saja.

Seperti kata kreator konten fesyen Tatjana Saphira, “Pakaian adalah bahasa tanpa kata pilihlah yang membuatmu merasa paling menjadi diri sendiri.

Bumi, Cewek kue, Estetik, Fesyen, Gaya Hidup, Kesetaraan, Mamba, Perempuan

Artikel Lainnya

Rindu Rumah? Ini Rahasia Puasa Nyaman bagi Perempuan Merantau

Soft Skill yang Jadi Modal Dapat Pekerjaan Impian di 2025

My Neighbor Totoro; Persahabatan Manusia dengan Alam

Leave a Comment