Kekerasan Gender Berbasis Online: Saatnya Mengakhiri Normalisasi yang Menyalahkan Korban

Hasemi

No Comments

Kutub.co – Masih banyak orang yang dengan mudah menuding bahwa korban kekerasan di ruang digital “mengundang bahaya” lewat pakaian, gaya hidup, atau unggahan mereka sendiri. Cara pandang seperti ini bukan hanya keliru, tetapi juga memperpanjang rantai kekerasan dengan meletakkan beban moral di pundak orang yang sudah disakiti. Alih-alih membantu, pola pikir semacam itu justru memperparah tekanan psikologis korban.

Padahal, ruang digital tidak pernah menjadi wilayah bebas dari nilai-nilai dasar tentang martabat manusia. Ketika seseorang diserang, dilecehkan, diburu, atau diekspos tanpa izin, itu bukan “risiko bermain internet”. Itu adalah bentuk kekerasan yang nyata. Menyebutnya sebagai konsekuensi dari “unggahan yang terlalu terbuka” hanyalah alasan mudah untuk mengabaikan persoalan jauh lebih serius: budaya menyalahkan korban.

Cek Mitos dan Fakta

Mitos: “Dia mengundang bahaya. Postingan terbuka dan provokatif membuatnya pantas diserang.”

Mitos ini bertahan karena orang lebih nyaman menyalahkan pilihan personal korban ketimbang mengakui bahwa pelaku memang sengaja melakukan kekerasan. Unggahan seseorang apa pun isinya tidak pernah menjadi lisensi bagi siapa pun untuk mencederai martabatnya. Jika logika ini diterima, maka setiap orang bisa saja menjadi sasaran pelecehan hanya karena terlihat di ruang digital. Itu absurd.

Mitos: “Komentar buruk di internet hanya bikin sakit hati sebentar, bukan kekerasan nyata.”

Pandangan ini meremehkan konsekuensi psikologis dan sosial yang telah dibuktikan oleh penelitian. Cyberbullying, cyberstalking, body shaming, doxing, hingga penyebaran konten intim tanpa izin (revenge porn) memiliki efek jangka panjang: trauma, depresi, isolasi sosial, penurunan fungsi harian, sampai ketakutan yang menghantui kehidupan offline. Menyebutnya “tidak nyata” justru menunjukkan ketidaktahuan terhadap bagaimana kerja psikis manusia.

Faktanya, KGBO berdampak langsung pada kehidupan nyata

Kekerasan Gender Berbasis Online (KGBO) bukan fenomena ringan. Pelaku dapat mengintai (cyberstalking), mempublikasikan data pribadi (doxing), menyebarkan konten intim tanpa izin, atau melakukan ancaman berulang. Semua itu berpotensi mengancam keselamatan fisik, bukan hanya emosional. Ruang digital terbukti telah menjadi perpanjangan tangan kekerasan offline, bukan entitas terpisah yang “tidak berbahaya”.

Mitos: “Korban tinggal blokir saja. Selesai.”

Kalau hanya sesederhana itu, kasus-kasus KGBO tidak akan berkembang menjadi laporan hukum atau krisis psikologis. Pemblokiran tidak menghentikan penyebaran data pribadi, tidak menghentikan ancaman di platform lain, dan tidak menghentikan persebaran konten yang sudah terlanjur beredar. Ini sama saja seperti menutup mata bukan menyelesaikan masalah.

Fakta penting yang seharusnya sudah jelas sejak awal

Apa pun yang diposting korban adalah haknya. Penampilan, opini, atau gaya hidup seseorang tidak pernah menjadi alasan yang sah untuk melecehkan atau menyerang mereka. Pelaku adalah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas kejahatannya. Jika masyarakat terus mempertahankan narasi yang menyalahkan korban, kita hanya akan melanggengkan siklus kekerasan yang sama.

Menjaga Ruang Digital Berarti Menjaga Kemanusiaan

Ruang digital adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial kita. Karena itu, standar etika yang sama harus berlaku: tidak menyerang, tidak merendahkan, tidak mencederai hak orang lain. Membiarkan mitos-mitos ini hidup sama saja dengan menormalisasi kekerasan.

Jika kita ingin ruang digital menjadi aman, yang harus diubah bukan unggahan korban melainkan budaya permisif terhadap pelaku.

beraktivitas, kesehatan mental, Kesetaraan, KGBO, Remaja

Artikel Lainnya

3 Kunci Penting Untuk Jadi Pribadi Menarik

Mood Naik, Kepala Tetap Stabil: Cara Nutrisi Membantu Emosi di Era Hidup Serba Cepat

5 hal Yang Perlu Dipersiapkan Sebelum Ke Psikolog

Leave a Comment