Hujan Bulan Juni yang Tak Lekang Waktu

Kutub.co- Setiap tahun, Juni selalu menjadi diksi yang spesial dan penuh romansa bagi beberapa orang. Hal ini karena puisi sastrawan Prof Sapardi Djoko Damono berjudul Hujan Bulan Juni seakan memiliki magis tersendiri. Bahkan awal bulan Juni lalu, “Hujan Bulan Juni” menjadi kalimat paling banyak dibicarakan di platform twitter.

Wajar saja, karena Hujan Bulan Juni merupakan karya romantis fenomenal yang tak lekang oleh waktu. Hujan disihir menjadi simbol yang manggis dan menjadi pengembaraan Eyang Sapardi dalam puisinya-puisinya. Lirik-lirik puisinya menjadi sesuatu yang hidup, berperasaan dan serasa begitu dengan dengan manusia.

Beberapa orang menyebut karya Hujan Bulan Juni ini sebagai karya yang impresif juga romantis. Karya yang dibuat pada tahun 1989 dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1994 oleh penerbit Grasindo ini sudah bertransformasi ke wahana lain, seperti menjadi prosa, novel. komik. lagu bahkan film. Hujan Bulan Juni berpilip menjadi karya yang tak lekang oleh waktu.

Dalam buku kumpulan puisi Hujan Bulan Juni, terdapat 102 puisi yang ditulis oleh Eyang Sapardi antara tahun 1964-1994. Beberapa puisi di dalamnya pun merupakan penerbitan ulang dari puisi-puisi yang pernah diterbitkan, seperti dalam buku Duka-Mu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Akuarium (1974), dan Perahu Kertas (1984). Kerennya lagi, buku kumpulan puisi Hujan Bulan Juni sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa, seperti ke bahasa Inggris, Jepang, Arab, Mandarin, dan yang terbaru adalah akan diterjemahkan ke bahasa Rusia.

Dilansir dari Kompas.com, puisi Hujan Bulan Juni ditulis oleh Eyang Sapardi sambil melihat telaga Situ Gintung, Ciputat, Tangerang Selatan. Dia menulisnya ketika berada di ruang kerja di perumahan dosen, jendela rumahnya menghadap ke Telaga Situ Gintung. Saat masih muda Eyang Sapardi tinggal di Yogya dan Solo, saat itu bulan Juni selalu dihadiri dengan musim kemarau. Namun, saat ia ke Jakarta di bulan Juni. Ia bingung mengapa hujan, karena itu pula Ia menulis puisi indah ini.

Lalu bertransformasi ke wahana apa sajakah puisi Hujan Bulan Juni ini? Berikut karya-karya yang diadaptasi dari Buku kumpulan puisi Hujan Bulan Juni yang dilansir dari Gramedia.com.

Lagu

Dikutip dari Kumparan (2017), pada tahun 1980-an, puisi Hujan Bulan Juni sudah ditampilkan dalam bentuk musikalisasi oleh M. Umar Muslim, lalu direkam dan dinyanyikan oleh Ari Malibu dan Reda Gaudiamo. Lalu pada tahun 1990, album Hujan Bulan Juni lahir sebagai musikalisasi puisi dari sajak-sajak Eyang. Album ini cukup laku di pasaran dan membuat Hujan Bulan Juni begitu terkenal hingga sekarang.

Novel
Tidak menyangka pada tahun 2015 Eyang Sapardi berhasil menyajikan Hujan Bulan Juni ke bentuk novel. Di dalamnya bercerita tentang kisah cinta manis pahit beda budaya dari Sarwono dan Pingkan. Novel ini digarap Eyang hanya dalam waktu 6 bulan dan dibuat hanya berdasarkan tafsiran puisinya saja.

Buku keduanya berjudul Pingkan Melipat Jarak rilis pada tahun 2017. Setelah diuji karena harus terpisahkan jarak karena studi dan pekerjaan, kini mereka lagi-lagi dihadapkan pada sakit yang diderita Sarwono, dan Pingkan tidak bisa menemuinya karena perawatan intensif yang tak memperkenankan siapapun menjenguk. Buku kedua ini lebih banyak menceritakan pada sisi Pingkan yang bergelut dengan pikiran serta keraguannya sendiri, tentang perasaan rindu dan cintanya kepada Sarwono.

Satu tahun setelahnya, buku Yang Fana Adalah Waktu menjadi penutup dari trilogi ini. Ada sajak-sajak kecil untuk Pingkan yang ditulis oleh Sarwono. Ikatan mereka berdua juga semakin jelas. Dengan berbagai badai yang menerpa mereka, akankah cinta dan usaha bisa mendekatkan mereka? Dan mendapatkan ‘jarak’ yang terbentang?

Buku ketiga ini telah mendapatkan penghargaan dalam Anugerah Buku ASEAN 2018 di Malaysia dan dinilai sebagai karya sastra bermutu tinggi oleh para penilai professional (Tribunnews, 2020).

Film
Pada November tahun 2017, film yang dibintangi oleh Adipati Dolken dan Velove Vexia hadir sebagai penggambaran narasi cerita dalam novel Hujan Bulan Juni. Jika dilihat dari trailernya, kalian bisa merasakan puisi-puisi Eyang dalam dialog antara Sarwono dan Pingkan. Eyang Sapardi ikut beradu akting dalam filmnya juga lho, dan ia berperan sebagai ayah Sarwono.

Banyaknya alih wahana puisi Hujan Bulan Juni, menjadi bukti bahwa puisi ini bisa bertransformasi menjadi apa saja dan tak lekang oleh waktu. Hujan Bulan Juni sendiri berisi tentang kesabaran, kebijakan serta ketabahan yang melebur menjadi satu dan tak terbatas pada hati seseorang.

Hujan Bulan Juni, menjadi karya fenomenal yang membuktikan bahwa karya sastra bisa dinikmati dan dipahami oleh siapa saja. Eyang Sapardi pun mengajarkannya dengan bahasa yang mudah dimengerti tanpa istilah yang rumit, karena inilah Ia dianugerahi banyak penghargaan baik di dalam negeri maupun diluar negri.

Sumber : Gramedia.com, Kompas.com
Penulis  : Siti Fatonah

Leave a Comment