Tidak semua akhir harus berisik.
Kadang, yang paling tenang justru yang paling kuat.
Kutub.co- Keputusan Raisa dan Hamish Daud untuk berpisah mengejutkan publik, tapi yang lebih menarik dari kisah ini bukan “kenapa mereka berpisah”, melainkan bagaimana mereka memilih cara berpisah. Tanpa drama, tanpa saling menyalahkan, dan tanpa menjadikan media sebagai panggung emosi.
Di tengah dunia digital yang haus gosip, sikap tenang mereka terasa seperti napas segar dan memberi ruang bagi kita semua untuk belajar tentang kedewasaan emosional.
1. Merelakan Bukan Kekalahan, Tapi Bentuk Kedewasaan
Kisah mereka membalik narasi umum tentang perpisahan. Sering kali, publik mengaitkan perpisahan dengan kegagalan. Padahal, melepaskan bisa jadi langkah paling berani untuk tetap menghormati diri dan pasangan. Kematangan seperti ini menunjukkan perubahan paradigma: bahwa cinta tak selalu tentang bertahan, tapi tentang tahu kapan harus melangkah dengan hormat.
2. Berakhir Tanpa Drama, Bukan Tanpa Cinta
Dalam pernyataan bersama, Raisa dan Hamish menekankan bahwa keputusan mereka diambil dengan pertimbangan panjang dan penuh rasa hormat. Sikap ini jarang ditemukan di era media sosial yang sering memperkeruh suasana dengan opini tanpa data.
Psikolog keluarga, Dr. Andra Lestari, menjelaskan bahwa, “Perpisahan yang sehat terjadi ketika dua orang memilih menghentikan konflik, bukan cinta.” Itu artinya, perpisahan bukan berarti kasih sayang hilang, tapi berubah bentuk menjadi penghargaan kepada diri sendiri dan orang lain.
Data dari American Psychological Association (APA) menunjukkan bahwa pasangan yang mampu berpisah secara damai memiliki 40% peluang lebih besar untuk menjaga hubungan positif jangka panjang, terutama ketika mereka memiliki anak.
3. Prioritas Utama: Kebahagiaan Anak
Di tengah perubahan hubungan, Raisa dan Hamish tetap sepakat pada satu hal: Zalina adalah prioritas.Mereka menunjukkan bahwa cinta pada anak bisa tetap utuh, bahkan ketika ikatan pernikahan berakhir.
Ahli parenting Elly Risman sering menekankan, “Anak tidak butuh orang tua yang sempurna, tapi dua orang dewasa yang saling menghormati.”
Hal ini sejalan dengan penelitian dari University of Cambridge (2021), yang menemukan bahwa anak-anak dari orang tua yang bercerai secara sehat cenderung lebih stabil secara emosional dibanding anak yang tumbuh dalam rumah tangga penuh konflik.
Langkah Raisa dan Hamish menunjukkan bahwa co-parenting bukan hanya istilah barat tapi wujud nyata dari cinta yang bertanggung jawab.
4. Co-Parenting Sehat: Tidak Bersama, Tapi Tetap Satu Tim
Co-parenting menjadi konsep penting dalam hubungan modern. Konsep ini mengajarkan bahwa dua orang bisa bekerja sama sebagai orang tua tanpa harus bersama sebagai pasangan. Mereka menempatkan kepentingan anak di atas ego pribadi prinsip yang jarang diangkat oleh media arus utama yang lebih sering fokus pada drama.
Sebuah studi oleh Harvard University (2020) menunjukkan bahwa anak-anak dengan pola co-parenting positif memiliki tingkat stres 25% lebih rendah dan kemampuan sosial lebih tinggi dibanding anak yang tumbuh dalam keluarga penuh konflik.
5. Hubungan Bisa Tetap Baik, Meski Bentuknya Berbeda
Menjaga hubungan baik pasca-perpisahan bukan hal mudah. Namun, Raisa dan Hamish membuktikan bahwa hormat bisa tetap hidup meski cinta berganti bentuk. Dalam budaya media yang sering menormalisasi pertengkaran publik antar selebritas, keputusan mereka untuk diam dan fokus pada hal baik adalah tindakan yang luar biasa dewasa.Ini sejalan dengan nilai “solution-oriented narrative” dalam jurnalisme konstruktif yakni mendorong publik belajar dari contoh positif, bukan memperkuat stereotip negatif.
6. Keputusan Terbaik untuk Masing-Masing
Kadang, cinta yang matang justru tahu kapan harus berhenti. Raisa dan Hamish memilih berpisah bukan karena menyerah, tapi karena sadar bahwa jalan terbaik bagi keduanya adalah memberi ruang untuk tumbuh secara pribadi. Mereka menunjukkan bahwa perpisahan tidak harus jadi luka, tapi bisa jadi bentuk cinta yang paling tulus cinta yang membebaskan. Itulah yang dilakukan pasangan ini memberi teladan bahwa bahagia bukan berarti selalu bersama, tapi mampu menjaga damai setelah berpisah.
Kisah Raisa dan Hamish bukan tentang kegagalan, tapi tentang bagaimana dua orang dewasa menempatkan kebaikan di atas ego. Mereka mengajarkan kita bahwa kadang, keputusan terbaik bukanlah bertahan, tapi berani melangkah sendiri dengan tenang, tanpa dendam, tanpa drama.
Berpisah bukan akhir dari cinta, melainkan perwujudan cinta yang paling jujur: cinta yang tahu kapan harus berhenti, demi menjaga kebaikan yang pernah ada.