Ketika Kekerasan Terasa Normal

Hasemi

No Comments

Kutub.co- Ada fase paling sunyi dari kekerasan: Ketika kita berhenti menyadarinya. Ketika ia tidak lagi hadir sebagai ancaman, tetapi sebagai kebiasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi, tanpa pernah benar-benar dipertanyakan. Pada titik itu, kekerasan tidak membutuhkan tenaga apa pun untuk bekerja, ia hanya perlu dibiarkan.

Perempuan tumbuh dalam serangkaian aturan yang tidak pernah dibuatnya. Cara berpakaian yang aman. Jam pulang yang “lebih baik jangan terlalu malam”.

Sikap yang “harus jaga diri”. Lingkungan membungkus semua itu sebagai nasihat, padahal isinya adalah pengakuan bahwa dunia tidak berusaha mengubah dirinya ia hanya menuntut perempuan untuk menyesuaikan diri.

Normalisasikan kekerasan bekerja dengan cara yang sangat halus. Pelecehan di tempat kerja dilewatkan sebagai candaan. Kontrol dalam hubungan dianggap bentuk perhatian. Kekerasan rumah tangga ditutup dengan dalih menjaga nama baik keluarga.

Ketika perempuan yang bersuara justru dipertanyakan, struktur sosial mengirim pesan yang sama, diam lebih aman daripada jujur.

Data global memperlihatkan pola yang serupa. WHO mencatat bahwa satu dari tiga perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual dari pasangan. UNFPA menunjuk bagaimana norma sosial yang menempatkan perempuan sebagai pihak yang harus “mengerti” ikut memperpanjang siklus kekerasan.

Di Indonesia, laporan SAFEnet mengungkap peningkatan tajam terhadap kekerasan berbasis gender di ranah digital, ruang yang seharusnya memberi kebebasan, namun justru memantulkan pola kontrol yang sama.

Di balik itu ada pesan yang lebih penting: Kekerasan bertahan bukan karena ida kuat, tetapi karena kita menganggapnya biasa.

16 Hari Kekerasan terhadap Perempuan hadir bukan sekedar sebagai kampanye, tetapi sebagai koreksi moral. Ia mengingatkan bahwa rasa aman bukan hadiah, melainkan hak. Bahwa luka perempuan tidak boleh menjadi latar belakang yang kita anggap wajar. Dan bahwa budaya yang membiarkan kekerasan terjadi sama berbahayanya dengan pelaku itu sendiri.

Kekerasan akan terus hidup selama kita tidak menamainya.Dan dunia akan tetap berbahaya bagi perempuan selama kita masih berkata, “itu biasa”.

Penulis: Ii Nuraeni

#16HAKTP, beraktivitas, kekerasan, KGBO, Perempuan, Remaja

Artikel Lainnya

Mitigasi Perundungan di Sekolah; Guru BK Bisa Apa?

MBTI

Kenalan dengan MBTI, Istilah Psikologi Untuk Tes Kepribadian

Queen Mentality: Belajar Batasan, Kendali Emosi, Mindset, dan Energi

Leave a Comment