Suara yang Terbungkam: Mengubah Duka Jadi Gerakan Empati

Hasemi

No Comments

Kutub.co – Ketika Perundungan Tidak Lagi Sekadar “Candaan” Kabar duka tentang Timothy, seorang mahasiswa yang diduga mengakhiri hidup karena perundungan, kembali mengguncang hati kita.Tragedi ini bukan kasus pertama dan sayangnya, bukan pula yang terakhir jika kita masih menganggap ejekan atau komentar tajam sebagai “bumbu kehidupan sosial”.

Menurut survei Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (2023), lebih dari 41% pelajar di Indonesia pernah mengalami perundungan dalam bentuk verbal, sosial, atau daring. Namun angka itu hanyalah puncak dari gunung es di baliknya ada banyak suara yang memilih diam karena takut, malu, atau merasa tidak akan didengar.

Luka yang Tak Terlihat

Kita sering kali hanya melihat perundungan sebagai tindakan fisik. Padahal, bentuk yang paling mematikan justru terjadi di ranah mental, pengucilan, penghinaan, dan komentar kejam di dunia maya. Setiap kalimat bernada ejekan dapat menumpuk menjadi luka batin luka yang perlahan memadamkan rasa percaya diri dan harapan seseorang.

Seorang konselor sekolah di Jakarta, Ratri Pratiwi, mengatakan:

Yang berbahaya dari perundungan adalah ketika korban mulai percaya pada kata-kata pelaku. Ia merasa tidak pantas hidup di dunia ini. Di titik itulah empati dari lingkungan menjadi penyelamat.

Dari Duka ke Aksi: Solusi Nyata yang Sedang Dijalankan

Di tengah keprihatinan, banyak komunitas dan sekolah mulai bergerak. Program “Sahabat Empati” di Yogyakarta, misalnya, melatih siswa menjadi peer listener teman sebaya yang siap mendengarkan tanpa menghakimi. Sementara di Bandung, Gerakan Sekolah Ramah Anak bekerja sama dengan psikolog lokal untuk membangun sistem pelaporan yang aman dan rahasia.

Hasilnya terlihat nyata. Dalam dua tahun terakhir, laporan kasus perundungan di sekolah yang mengikuti program ini menurun hingga 30%, dan siswa melaporkan peningkatan rasa aman serta solidaritas antar-teman.

Kami belajar bahwa menghentikan bullying tidak cukup dengan sanksi, tapi dengan budaya empati,” kata Dina, salah satu fasilitator program.

Tanggung Jawab Kita Bersama

Perundungan bukan hanya masalah antara pelaku dan korban. Ia adalah masalah sosial yang menuntut tanggung jawab kolektif.Ketika kita diam, kita sesungguhnya memperpanjang luka.

Setiap dari kita bisa memulai perubahan kecil:

• Sebagai teman: dengarkan tanpa menghakimi.

• Sebagai guru atau orang tua: ciptakan ruang aman untuk berbicara.

• Sebagai pengguna media sosial: pikirkan kembali sebelum mengetik komentar yang bisa melukai.

Harapan yang Masih Ada

Kita tidak bisa mengembalikan Timothy, tetapi kita bisa memastikan tidak ada lagi Timothy berikutnya.Mari menjadikan tragedi ini titik balik, dari budaya saling menghakimi menuju budaya saling memahami.

Bandung, Indonesia, kesehatan mental, Perundungan, Timothy

Artikel Lainnya

PP IPPNU Gelar Rapimnas, Perkuat Kolaborasi dengan Stakeholder Nasional

Dukung Ekonomi Hijau, Portofolio Hijau BRI Tembus Rp 764,8 Triliun

PC IPPNU Kabupaten Tasikmalaya Lakukan Silaturrahmi ke KPU Kabupaten Tasikmalaya

Leave a Comment