Kutub.co – Kata warisan biasanya terdengar indah, tetapi tidak bagi Marimar (15 tahun, bukan nama sebenarnya), seorang anak perempuan dari ibu pekerja rumah tangga (PRT). Marimar merupakan seorang pekerja anak yang bertugas untuk mengurus anak keluarga kaya di ibu kota. Dengan usianya yang masih belia dan tingkat pendidikan yang rendah, pekerjaan ini menjadi satu-satunya keahlian yang bisa dilamar olehnya. Beban hidup keluarga di kampungnya, Tasikmalaya, memaksa dia untuk merantau ke ibu kota dan melakukan pekerjaan yang “diwariskan” oleh ibunya.
Tidak hanya Marimar, di banyak sudut kota dan desa, anak perempuan secara perlahan mewarisi kerja perawatan dari ibu mereka, baik itu secara berbayar maupun tidak berbayar. Anak perempuan sering kali diminta untuk membantu ibu mereka mengerjakan pekerjaan perawatan, seperti memasak, mencuci piring, mengurus adik; sedari usia sangat dini, bahkan sebelum lulus Sekolah Dasar. Lebih dari itu, beberapa anak perempuan yang ibunya bekerja di luar rumah harus berperan mengambil alih pekerjaan ibu mereka di sela-sela kehidupannya sebagai pelajar. Tak jarang, hal itu juga yang menjadikan mereka tidak mendapatkan waktu untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi.
Kerja yang selalu dilakukan setiap hari ini, sebenarnya menopang kehidupan ini sering kali tidak dibayar, dan walaupun dibayar tidak pernah mendapatkan pembayaran yang layak. Hal ini didasarkan pada tiadanya pengakuan negara atas kerja keperawatan sebagai suatu pekerjaan formal, karena dianggap sebagai pekerjaan tanpa keahlian. Absennya negara dalam regulasi untuk hal ini tidak hanya memiskinkan PRT, tetapi juga membuat banyak anak perempuan dari PRT kehilangan kesempatan untuk berpendidikan tinggi dan memilih pekerjaan yang dicita-citakannya.
Kerja perawatan sudah sejak lama dilekatkan pada perempuan. Dalam budaya patriarkal, perempuan mendapatkan ekspektasi gender dan secara “alami” dianggap ada untuk merawat, seolah-olah keahlian ini lahir bersama jenis kelamin mereka. Maka tak heran ketika perempuan dari keluarga miskin, terutama anak PRT, tidak didorong untuk mengejar pendidikan atau cita-cita lain. Anak perempuan tumbuh dengan contoh bahwa merawat adalah jalan hidup mereka, dan akhirnya, menjadi pilihan yang tidak benar-benar sukarela dia pilih.
Seperti yang terjadi pada kasus Marimar, di usianya yang masih 15 tahun, dia sudah tidak mendapatkan pendidikan dan malah harus melakukan pekerjaan yang mau tidak mau dipilihnya. Padahal dalam RUU PRT, disebutkan dengan jelas bahwa usia minimal bagi PRT adalah 18 tahun. Ketidakpedulian pemerintah atas PRT menjadikan penyalur dan “majikan” PRT bisa dengan semena-mena mempekerjakan seseorang yang masih dibawah umur. Hal ini sangat rentan eksploitasi, seperti pemberian upah yang sama sekali tidak layak.
Siklus ini diperparah oleh minimnya perlindungan hukum dan jaminan sosial bagi pekerja rumah tangga. RUU Perlindungan PRT belum juga disahkan. Akses pendidikan anak-anak PRT kerap terhambat oleh kondisi ekonomi yang memaksa mereka bekerja lebih awal. Negara absen dalam memutus rantai pemiskinan ini.
Kerja-kerja perawatan juga terhubung pada ekonomi perawatan atau care economy. Didasarkan dari hasil penelitian International Labor Organization, ekonomi perawatan adalah sektor kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan penyediaan perawatan, baik itu pekerjaan atau pemberian jasa yang berbayar maupun tidak berbayar.
Dalam ekonomi perawatan, negara seharusnya dapat menjamin pekerja-pekerja perawatan untuk mendapatkan haknya, yang mana di dalamnya termasuk kerja perawatan yang dilakukan di keluarga, seperti kepengurusan anak, lansia, maupun anggota keluarga disabilitas yang saat ini belum berbayar.
Berbicara mengenai ekonomi perawatan, seperti disebutkan sebelumnya, budaya patriarkal menjadi salah satu kunci mengapa perempuan terus dikonstruksikan untuk melakukan kerja perawatan. Dalam kasus Marimar, ibunya yang dulu merupakan seorang PRT kini bekerja membantu kakak perempuannya yang memiliki dua anak, satu berusia 7 tahun dan satu lagi berusia 1 tahun.
Perpindahan kerja dari berbayar dan tidak berbayar inilah yang mengharuskan Marimar untuk bekerja menggantikan ibunya dan memenuhi kebutuhan rumah tangga di kampung dengan gajinya, karena ayahnya tidak memiliki pekerjaan yang pasti dan lebih senang mengurusi domba-dombanya.
Situasi dalam rumah kakak Marimar itu memiliki suami yang patriarkis yang secara terang-terangan mempekerjakan istrinya untuk menjaga sebuah toko Madura yang dimiliki oleh sang suami, tanpa dibayar. Dikarenakan anaknya yang masih harus mendapatkan perawatan intens, kakak Marimar kemudian kewalahan dan meminta ibunya untuk membantu merawat anak-anak tersebut, lagi-lagi, tanpa dibayar. Sistem patriarkal dan pemaksaan stereotipe terhadap perempuan menjadikan ini siklus tiada akhir yang perlu segera diinterupsi dan diselesaikan.
Kerja perawatan yang diwariskan dari ibu ke anak perempuan bukan sekadar kisah pengorbanan, tetapi juga alarm sosial yang menandai gagalnya negara dan masyarakat dalam menjamin keadilan bagi perempuan pekerja. Ketika anak-anak perempuan harus mengulang hidup ibunya bukan karena pilihan, melainkan karena keterpaksaan, maka di sanalah kemerdekaan itu belum benar-benar hadir. Kini, saatnya kita bertanya: sampai kapan kerja merawat yang menopang hidup ini tetap dianggap remeh dan perempuan terus dibebani tanpa ruang untuk bermimpi?
UU TK anak dibawah umur bisa dipekerjakan yang tidak harmonis dengan UU lain.
Penulis: Dianah Nisa