Lagi-lagi Relasi Kuasa! Ketika Kekuasaan Akademik Menjadi Alat Kekerasan Seksual

puput latifa

No Comments

Kutub.co – Pemberhentian Edy Meiyanto dari jabatan guru besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) akibat kekerasan seksual terhadap mahasiswi kembali menampar dunia pendidikan tinggi Indonesia. Sebuah institusi ternama, dengan sejarah panjang dan reputasi akademik, harus kembali berhadapan dengan pertanyaan mendasar: apakah kampus benar-benar aman bagi mahasiswanya?

Melansir laman resmi UGM (9/4/2025), Edy Meiyanto terbukti melanggar peraturan universitas terkait kekerasan seksual terhadap mahasiswa bimbingan. Ia telah diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua Cancer Chemoprevention Research Center sejak Juli 2024 dan kini kehilangan status guru besar. Namun, hingga artikel ini ditulis, belum ada proses hukum yang berjalan di kepolisian, dan laporan pidana belum diajukan.

Kasus ini bukan insiden pertama yang melibatkan relasi kuasa dalam kekerasan seksual di dunia akademik. Justru, pola yang berulang ini menandakan bahwa sistem pendidikan kita masih menyimpan persoalan mendasar yang belum dituntaskan.

“Relasi kuasa di kampus sering kali tak kasatmata, tapi efeknya sangat nyata,” ungkap Dr. Nur Hasyim, peneliti maskulinitas dan anggota Pokja Pencegahan Kekerasan Seksual Kemendikbudristek. “Dalam posisi dosen-mahasiswa, ada dominasi yang bisa dengan mudah dimanfaatkan oleh pelaku untuk membungkam atau memanipulasi korban.”

Budaya Diam dan Ketimpangan Sistemik

Kampus semestinya menjadi tempat yang aman dan mendukung pertumbuhan intelektual. Namun, fakta menunjukkan bahwa banyak mahasiswa—terutama perempuan—harus menghadapi tekanan psikologis dan pelecehan dari dosen atau pembimbing mereka. Ketika pelaku memiliki jabatan tinggi, keberanian untuk melapor sering kali sirna.

Korban berada dalam dilema: melapor berarti mengambil risiko akademik dan sosial. Tidak melapor berarti terus memendam luka dan membiarkan pelaku melanjutkan aksinya. Dalam beberapa kasus, bahkan pelaporan yang sudah dilakukan tak kunjung mendapatkan keadilan karena birokrasi yang lamban atau keberpihakan institusi kepada pelaku.

“Sayangnya, pelaku kekerasan seksual yang memiliki posisi tinggi kerap dilindungi oleh sistem. Reputasi kampus sering dijadikan alasan untuk menyapu masalah ini ke bawah karpet,” kata Fitriani Noor, S.H., M.A., aktivis advokasi hukum dan anggota Koalisi Kampus Aman.

Bukan Soal Moralitas, Tapi Kekuasaan

Kekerasan seksual di kampus bukan semata soal moral individu. Ini soal sistem kekuasaan yang memberi ruang bagi dominasi tanpa pengawasan. Ketika seorang guru besar bisa melakukan kekerasan seksual secara sistematis dan dalam jangka waktu lama, maka ini adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan, bukan sekadar pelanggaran etika.

“Kita terlalu sering menyoroti karakter pelaku sebagai ‘oknum’. Padahal, masalah utamanya adalah sistem yang memungkinkan kekuasaan akademik dijalankan tanpa kontrol,” tegas Dr. Nur Hasyim.

Sayangnya, banyak kasus berakhir hanya pada sanksi administratif. Tanpa proses hukum pidana, tidak ada efek jera, dan tidak ada keadilan menyeluruh bagi korban. Bahkan, dalam sejumlah kasus lain, pelaku bisa berpindah ke kampus lain tanpa catatan buruk.

Menolak Normalisasi Kekerasan

Jika kita tidak segera mengubah cara berpikir, maka frasa “lagi-lagi relasi kuasa” akan terus menjadi berita rutin. Kita harus mulai mengakui bahwa hierarki dalam pendidikan tinggi sering kali menormalisasi dominasi dan menyingkirkan suara-suara korban.

Kita butuh budaya kampus yang tidak hanya menoleransi keberagaman intelektual, tapi juga menjamin keselamatan dan kesetaraan dalam relasi personal. Selama relasi kuasa tidak dikritisi, selama sistem lebih berpihak pada pelaku yang berkuasa daripada korban yang berjuang, maka tragedi seperti ini akan terus terjadi.

Ini bukan hanya soal UGM, bukan hanya soal satu guru besar. Ini soal bagaimana kita mendefinisikan keadilan, keamanan, dan keberpihakan dalam dunia pendidikan tinggi kita.

pelecehan seksual, Perempuan, relasi kuasa

Artikel Lainnya

KBA Pekayon: Kolaborasi Astra dan Warga Bekasi untuk Hadapi Perubahan Iklim

Rayakan International Women’s Day 2025: Percepatan Aksi Menuju Kesetaraan

Penyesuaian Harga BBM Non Subsidi Mulai 1 Januari 2025: Pertamina, Shell, dan BP-AKR Naikkan Tarif

Leave a Comment