Ketika Kuasa Jadi Senjata: Kasus Kekerasan Seksual oleh Dokter dan Relasi Kuasa yang Masih Diabaikan

puput latifa

No Comments

Kutub.co– Seorang dokter residen di salah satu rumah sakit pendidikan terkemuka di Indonesia baru-baru ini dilaporkan telah melakukan kekerasan seksual kepada seorang perempuan yang sedang menunggui ayahnya di ICU. Pelaku diduga menggunakan obat bius untuk melumpuhkan korban, sebelum akhirnya memperkosanya di ruang rumah sakit.

Perempuan korban ini bukan hanya dalam posisi rentan secara fisik, tetapi juga secara emosional dan psikologis. Ia sedang berusaha menyelamatkan ayahnya yang membutuhkan darah. Dalam situasi darurat itulah, pelaku yang merupakan dokter rumah sakit mengajak korban untuk melakukan crossmatch darah, lalu menyuruhnya mengganti pakaian pasien, dan membiusnya dengan midazolam. Begitu korban kehilangan kesadaran, tindakan pemerkosaan dilakukan.

Korban terbangun sekitar pukul 4 pagi dalam keadaan linglung dan menemukan bekas-bekas yang mencurigakan di tubuhnya. Ia segera meminta visum dan melaporkan kejadian tersebut. Hasil visum dan rekaman CCTV memperkuat laporan korban, dan proses hukum pun berjalan.

Tragisnya, sang ayah yang sedang dirawat akhirnya meninggal dunia di ICU. Duka itu pun diperparah oleh trauma yang membekas dari peristiwa kekerasan seksual yang dialami anaknya.

Relasi Kuasa yang Mengakar

Kasus ini bukan hanya soal kekerasan seksual. Ini juga adalah cerminan dari bagaimana relasi kuasa bekerja dalam sistem sosial kita. Dalam relasi antara dokter dan pasien atau keluarga pasien, terdapat ketimpangan kuasa yang besar. Ketimpangan inilah yang sering dimanfaatkan oleh pelaku untuk melakukan tindakan predatoris, tanpa rasa takut akan konsekuensi.

Dalam banyak kasus kekerasan seksual, pelaku bukanlah orang asing. Mereka adalah orang-orang dengan posisi sosial, ekonomi, atau profesional yang lebih tinggi dari korban. Mereka bisa guru, atasan, tokoh agama, bahkan tenaga kesehatan—profesi-profesi yang seharusnya menjadi pelindung dan penyembuh, justru berbalik menjadi ancaman.

Kekerasan Seksual di Ruang Profesional

Ruang profesional seperti rumah sakit, sekolah, tempat kerja, bahkan institusi keagamaan bukanlah ruang yang bebas dari kekerasan. Justru, karena adanya struktur hierarkis dan kepercayaan tinggi terhadap otoritas, ruang-ruang ini sering menjadi tempat rawan terjadinya kekerasan seksual yang tersembunyi.

Sayangnya, banyak korban merasa takut melapor karena pelaku dianggap “orang baik” atau “berjasa,” atau karena institusi lebih memilih melindungi citra daripada korban.

Pentingnya Membangun Budaya Berpihak pada Korban

Kita perlu lebih dari sekadar proses hukum. Kita perlu membangun budaya yang berpihak pada korban budaya yang percaya pada suara perempuan, yang tidak menyalahkan korban, dan yang berani mengevaluasi sistem yang memelihara impunitas pelaku.

Diam adalah bentuk keberpihakan terhadap pelaku. Netral adalah pilihan yang mengabaikan penderitaan korban.

Kasus ini adalah seruan keras bahwa kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja, dan pelakunya bisa siapa saja, bahkan mereka yang memakai jas putih dan dianggap “terhormat.” Kita tidak bisa lagi menoleransi kekerasan yang dibungkus dalam relasi kuasa dan kepercayaan.

Saatnya bersuara. Saatnya berpihak. Saatnya menuntut keadilan.

kekerasan seksual, Perempuan, relasi kuasa

Artikel Lainnya

Mitigasi Perundungan di Sekolah; Guru BK Bisa Apa?

Empat Nominator Terbaik Sayembara Adzan 2025 Diumumkan, Termasuk Santri dari Pesantren Nurul Iman Bandung

Global Knowledge Exchange: Santri Mengglobal Fasilitasi Program Visiting Scholar bagi Profesor dari Turki

Leave a Comment