Ulas Pilkada Jawa Barat 2024, LPI Bekali Jurnalis dengan Media Brief dan Capacity Building

dion

No Comments

BANDUNG, LPI – Tim Social Media Monitoring Literasi Pemuda Indonesia (LPI) mencatat, narasi kampanye bermuatan politik identitas khususnya berbasis agama, masih menjamur pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jawa Barat selama periode 27 September-27 November 2024.

Gubernur Jawa Barat terpilih Dedi Mulyadi misalnya. Dia kerap dianggap seorang musyrik lantaran ajaran Sunda Wiwitan yang ia yakini. Ia juga diragukan keislamannya karena kerap mempertontonkan simbol-simbol budaya, seperti iket kepala.

Selama periode pemantauan, politik identitas berbasis agama yang dikaitkan dengan sosok Dedi Mulyadi muncul di enam jenis platform media (Youtube, media daring, Facebook, X, Instagram, TikTok) sebanyak 732 postingan.

Kendati demikian, narasi populisme agama dan politik identitas yang disematkan kepada Dedi Mulyadi, tidak serta merta menjatuhkan elektabilitasnya. Bahkan mantan Bupati Purwakarta dua periode itu meraup 14,1 juta suara atau 62 persen di Pilkada Jabar 2024. 

Anomali menjamurnya populisme agama dan politik identitas selama Pilkada Jabar 2024 ini membuat LPI berinisiasi menggelar media brief dan capacity building untuk rekan jurnalis sebagai bekal peliputan selama Pilkada.

Bertajuk “Populisme Agama dan Politik Identitas di Pilkada Jabar: Bagaimana Seharusnya Media Bekerja?”, acara itu digelar di Hotel Horison Ultima, Bandung pada Sabtu, 21 Desember 2024.

Didukung oleh USAID dan Internews, media brief dan capacity building ini dihadiri 14 belas jurnalis dari berbagai media di Jawa Barat, dan melibatkan narasumber terbaik di bidangnya dan relevan dengan tema yang diangkat.

Founder sekaligus Pimpinan LPI, Dedy Helsyanto menjelaskan, isu politik identitas yang diarahkan pada Dedi Mulyadi lebih banyak bertebaran di media sosial daripada di media online. Platform yang paling banyak digunakan untuk menyebarkan konten dari topik tersebut adalah platform X, kemudian disusul TikTok dan media daring. 

“Tim LPI menggunakan kata kunci Dedi Mulyadi dan Islam, Sunda Wiwitan, Musyrik dan Sesat di Drone Emprit untuk menganalisis percakapan tentang politik identitas di platform media sosial dan media daring,” ujarnya.

Salah satu temuan menarik, ada satu hari yang menonjol di mana topik terkait Dedi melonjak signifikan di X. Ini tak lepas dari munculnya tulisan berjudul Demi Menjaga Ketauhidan, Umat Islam Haram Memilih Dedi Mulyadi. Tulisan tersebut di antaranya dimuat di pribuminews.co.id, democrazy.id, dan kabarterkini 24.com. Lalu tautan dari tulisan yang dibagikan situs tersebut dikapitalisasi melalui X pada 3 November yang dilihat serta dijangkau oleh jutaan akun. 

“Kami menyebutnya sebagai Operasi 3 November. Momen di mana narasi politik identitas berbasis agama yang dialamatkan pada Dedi Mulyadi mencapai puncaknya,” ungkap Dedy lagi.

Sementara dari tim Media Brief LPI, Purnama Ayu Rizky memaparkan, politik identitas kerap dianggap sebagai strategi efektif dalam menaikkan elektabilitas pasangan calon.

“Persaingan politik yang intens dapat mendorong banyaknya kandidat, tim sukses, buzzer untuk menggunakan strategi kampanye politik identitas khususnya yang agama,” kata Ayu.

Terlebih di Jawa Barat, imbuh Ayu, ada enam penyebab kenapa isu politik identitas dan populisme agama masih marak ditemukan di momen Pilkada Jabar 2024. Di antaranya, komposisi demografi dan karakteristik keagamaan, budaya politik berbasis komunitas, strategi elektoral yang efektif, minimnya pendidikan politik yang kritis, pengaruh media sosial, dan persaingan politik yang Intens.

Meskipun narasi populisme agama dan politik identitas tak menggerus elektabilitas Dedi, penggunaan politik identitas adalah praktik lancung yang menodai kualitas demokrasi Indonesia. 

“Politik identitas justru terbukti mencacah masyarakat. Masyarakat rentan terpolarisasi menjadi kelompok Islamis dan nasionalis/pluralis. Politik identitas, khususnya berbasis agama juga berbahaya karena bisa mendistorsi perhatian warga saat memilih calon pemimpin terbaik. Pertimbangan saat memilih tak lagi berdasarkan kualitas program yang ditawarkan tapi didasari faktor emosional dan kedekatan dengan isu agama saja,” tutur Ayu.

Adapun pemateri capacity building adalah Tantowi Anwari, Manajer Advokasi Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Tantowi menyatakan, media harus terbuka atau membuka ruang dialog mengenai kelompok minoritas seperti Sunda Wiwitan.

“Mungkin tanpa di sadari banyak kelompok minoritas yang melakukan hal baik tapi enggak terekspos. Mulai sekarang bisa diangkat, untuk mengurangi pemberitaan diskriminasi,” ungkap Tantowi.

Menurut dia, media harus memiliki perspektif hak asasi manusia (HAM), gender, mengedepankan kelompok minoritas, kritis terhadap isu dan narasumber, dan mempertimbangkan dampak yang dirasakan korban.

“Jadi pemberitaan yang harus di-up itu harus pemberitaan yang bisa mengubah. Media mencoba masuk pada satu kasus atau peristiwa, mencoba mendapatkan respons masyarakatnya,” jelas dia.


Selain itu, imbuhnya, media perlu mempertimbangkan pendekatan yang lebih inklusif dan konstruktif. Misalnya dengan mengutamakan kritisisme, nuansa, memancing lebih banyak percakapan publik soal ini, serta yang terpenting adalah menawarkan solusi.

“Hal-hal ini mungkin bisa dicapai jika media berkolaborasi,” pungkas Thowik. (*)

Artikel Lainnya

KBA Pekayon: Kolaborasi Astra dan Warga Bekasi untuk Hadapi Perubahan Iklim

Antisipasi Misinformasi Pilkada, AMSI Jabar Adakan Pelatihan Cek Fakta

Leave a Comment