Terlalu Lama di Layar? Yuk, Kenali Dampak Screen Time buat Anak dan Gen Z

Hasemi

No Comments

Kutub.co– Pernah nggak sih kamu sadar, tanganmu refleks buka HP begitu bangun tidur katanya cuma scroll TikTok sebentar, eh tahu-tahu sudah satu jam lewat? Atau kamu lagi nonton YouTube sambil buka X (Twitter), sambil chat di WhatsApp, sambil… makan juga?

Selamat datang di era hyperconnected, di mana dunia terasa ada di genggaman tapi mata, pikiran, dan hati kita jarang benar-benar istirahat.

Apa Itu Screen Time, dan Kenapa Penting Diperhatikan?

Menurut Halodoc, screen time adalah waktu yang kita habiskan di depan layar baik HP, laptop, tablet, atau TV. Nonton film, main game, scrolling media sosial, bahkan belajar online semuanya termasuk di dalamnya.

Tapi catat satu hal penting, Nggak semua screen time itu buruk. Belajar lewat video edukatif jelas beda dengan maraton drama Korea enam jam tanpa jeda.

Kuncinya bukan sekadar “mengurangi layar”, tapi menata kualitas waktu di layar memilih apa yang benar-benar berguna buat diri kita.

Menko PMK Pratikno pernah bilang, rata-rata orang Indonesia menatap layar lebih dari 7,5 jam per hari.

Artinya ada orang yang membuka layar lebih dari belasan jam setiap harinya,” katanya dalam acara KolaborAKSI untuk Keluarga (Juni 2025).

Yang bikin miris, anak di bawah dua tahun pun kini sudah terbiasa dengan gawai. Padahal, otak mereka masih berkembang pesat. Paparan konten instan tanpa pendampingan bisa mengganggu kemampuan berpikir mendalam dan daya imajinasi.

Generasi yang Terhubung, Tapi Kadang Terlalu Lelah

Kita semua hidup di era digital yang menuntut kecepatan. Mulai dari sekolah online, kerja lewat Zoom, sampai hiburan, semuanya butuh layar. Tapi ironisnya, di tengah konektivitas tanpa batas, banyak yang justru merasa sendirian.

Menurut Deloitte Global Gen Z Survey 2024, 63% Gen Z merasa stres karena media sosial, dan hampir separuhnya sulit lepas dari layar meskipun tahu itu tidak sehat.

Namun, bukan hanya Gen Z pekerja kantoran, mahasiswa, bahkan orang tua rumah tangga kini ikut merasakan digital fatigue, kelelahan mental akibat banjir notifikasi, konten cepat, dan tekanan sosial digital.

Penelitian dari Harvard Medical School menunjukkan, notifikasi dan cahaya biru dari layar memicu pelepasan dopamin, zat kimia otak yang membuat kita ketagihan.

Makanya, setiap kali bilang “cuma 5 menit lagi,” otak kita sebenarnya sedang minta dopamine shot. Terlalu lama di layar bikin usah fokus, Gangguan tidur, Emosi nggak stabil, Anak-anak kehilangan kemampuan konsentrasi dan daya eksplorasi alami.

Nggak Harus Anti-Layar, Tapi Yuk Belajar Seimbang

Kuncinya bukan “hapus media sosial” atau “buang HP”, tapi menemukan keseimbangan digital.

Beberapa panduan ini bisa jadi acuan sederhana:

• Bayi & Balita (0–2 tahun) → Sebaiknya tanpa layar

• Usia 2–5 tahun → Maksimal 1 jam per hari (konten edukatif & didampingi)

• Anak & Remaja → 2–3 jam per hari, plus waktu main dan olahraga.

Buat remaja dan Gen Z, bisa mulai dari langkah kecil:

• Matikan notifikasi non-penting

• Pasang screen time tracker

• Terapkan “no-screen zone” sebelum tidur

• Coba digital detox sehari dalam seminggu

Latih “Empati Digital” di Era Serba Cepat

Teknologi bukan musuh yang penting bagaimana kita menggunakannya dengan sadar dan berempati. Empati digital artinya memahami dampak setiap klik, scroll, dan komentar: ke diri sendiri maupun ke orang lain. Coba kamu tanya ke diri sendiri:

Apakah layar ini bikin aku tumbuh, atau malah bikin cemas?

Kalau jawabannya yang kedua, mungkin kamu sudah waktunya recharge bukan dari listrik, tapi dari keheningan, percakapan nyata, dan udara luar. Karena di balik layar, ada kehidupan yang menunggu untuk disapa.

anak, beraktivitas, Gen-z, hyperconnected, Media Sosial, Remaja, Screen time, Semua generasi

Artikel Lainnya

My Neighbor Totoro; Persahabatan Manusia dengan Alam

Perempuan Tidak Harus Sempurna, Cukup Hadir dengan Cinta Pada Diri dan Keluarga

Buah untuk kulit glowing

10 Buah Super untuk Bikin Kulit Glowing Alami, Yuk Coba!

Leave a Comment