Kutub.co – Di tengah riuhnya kota Bandung, di antara beton-beton yang penuh iklan deterjen dan sabun instan, ada sebuah gang kecil di dekat jantung kota Bandung yang menawarkan sesuatu yang berbeda: keheningan. Bukan karena sepi, tapi karena kesederhanaannya menyuarakan perlawanan. Di sinilah Toko Organis berdiri, tanpa bising promo, tanpa plastik berlebihan, tanpa sampah yang dibuang sembarangan.
Setiap kali membuka pintu Toko Organis saat pagi, Disti selalu berharap: semakin banyak orang yang peduli pada bumi. Di toko mungil beraroma sabun alami itu, tak ada plastik sekali pakai, tak ada kemasan menumpuk. Pelanggan datang membawa wadah sendiri, menakar kebutuhan mereka, dari sabun cair hingga bumbu masak, dan pulang tanpa menyisakan sampah.
Toko yang digagas oleh Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB), bukan sekadar tempat belanja. Ia adalah bentuk perlawanan senyap terhadap gunungan sampah yang setiap hari membanjiri tempat pembuangan akhir. Di tengah kota yang sibuk dan serba instan, toko ini menumbuhkan kesadaran bahwa perubahan bisa dimulai dari hal-hal kecil, salah satunya dengan membawa kemasan daur ulang sendiri, meniadakan kantong plastik.

Foto: Toko Organis YPBB
Gerakan serupa banyak dilakukan di beberapa belahan wilayah di Indonesia, namun, Toko Organis menawarkan harga yang cenderung lebih terjangkau hingga hal itu menjadi salah satu alasan beberapa pelanggan terus kembali ke toko ini. Belanja yang awalnya didasarkan pada prinsip berhemat, berkembang menjadi lebih besar, yaitu membuat perubahan bagi dunia dengan prinsip hidup minim sampah yang dimulai dari rumah.
Pendekatan yang dimulai dari rumah juga berkelindan dengan pandangan ahli menanggapi jumlah produksi sampah yang tiap tahun dihasilkan. “Rumah tangga menjadi titik krusial dalam rantai pengelolaan sampah, sekaligus titik intervensi yang sangat strategis untuk pengurangan sampah plastik,” ungkap Ikrom Mustofa, Pendiri Yayasan Generasi Cerdas Iklim dan dosen Universitas Islam Indonesia.
Ikrom menambahkan bahwa pengurangan plastik di level rumah tangga memiliki dampak langsung terhadap mitigasi perubahan iklim. “Pengurangan timbulan sampah, termasuk plastik, punya potensi menurunkan emisi gas rumah kaca secara signifikan karena proses daur ulang plastik memiliki jejak karbon yang tinggi,” jelasnya.
Lebih jauh, ia menyoroti peran komunitas seperti Toko Organis sebagai simpul ekonomi sirkular lokal. “Praktik isi ulang, pembelian curah, dan konsumsi produk lokal adalah bentuk penghidupan kembali praktik ramah lingkungan. Ini bukan hanya mengurangi sampah, tapi juga mendukung ekonomi lokal dan memperkecil jejak karbon konsumsi,” lanjutnya.
Sebagai akademisi, Ikrom melihat Toko Organis sebagai laboratorium hidup (living lab) untuk perubahan gaya hidup. “Model seperti ini punya nilai edukatif yang tinggi. Ia menjadi ruang praktik nyata perubahan perilaku, bukan sekadar wacana,” tambahnya.
Namun demikian, Ikrom tidak menutup mata terhadap tantangan struktural di masyarakat. “Tingkat literasi lingkungan masih rendah, dan infrastruktur pendukung seperti TPS3R atau bank sampah belum merata. Edukasi harus dibarengi dengan penyediaan sarana,” tegasnya. Ia juga menekankan pentingnya sinergi antara komunitas dan pemerintah. “Pemerintah perlu menjadi fasilitator, bukan hanya regulator. Komunitas butuh akses yang lebih terbuka untuk mendukung keberlanjutan inisiatif seperti ini.”
Lewat pendekatan personal dan komunitas, Toko Organis berhasil menyentuh hati banyak warga. Kini, lebih dari setengah pelanggan tetapnya adalah keluarga muda yang ingin memberikan warisan bumi yang lebih layak bagi anak-anak mereka.
Orang datang ke sana bukan hanya untuk mencari murahnya, tapi juga untuk mencari arah. Dari botol-botol bekas yang dibawa sendiri, dari sabun yang dituang perlahan, dari tanya-jawab dengan staf toko, lahirlah kesadaran baru yaitu kita bisa hidup tanpa terus-menerus membuang.
Bagi sebagian orang, langkah kecil seperti membawa wadah sendiri mungkin tampak remeh. Tapi di tempat ini, itu adalah aksi politik. Sebuah pernyataan bahwa bumi tidak harus dikorbankan demi kenyamanan sesaat.
Dari Krisis Menuju Tindakan Nyata
Krisis sampah bukan lagi isu masa depan. Berdasarkan dari Jenna Jambeck dalam penelitiannya, Ia menyatakan bahwa Indonesia merupakan penyumbang sampah plastik kedua terbesar di dunia. Hal ini juga tercatat dalam data pengelolaan sampah Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia yang menyebut Indonesia menghasilkan lebih dari 34 juta ton sampah per tahun dengan 57,78% darinya tidak terkelola.
Melihat besarnya angka tersebut dan minimnya usaha dari atas dalam regulasi pengelolaan sampah, YPBB tidak tinggal diam, justru hadir dengan logika baru, yaitu mencegah munculnya sampah dari bawah.
“Sistem refill itu solusi langsung. Bukan memperbaiki limbah, tapi mencegahnya muncul. Jadi, kami ubah budaya belanja dari konsumtif ke sadar,” ujar Hisyam, Koordinator Divisi Kampanye YPBB.
Toko ini memungkinkan warga membeli sabun, bumbu dapur, beras, dan perlengkapan rumah tangga lainnya secara isi ulang. Tanpa plastik. Tanpa pemborosan.
Edukasi yang Membumi, Bukan Sekadar Kampanye
Toko Organis bukan berdiri sendiri. Ia didukung oleh Urban Center YPBB, sebuah ruang edukasi berada di lantai dua yang menerapkan prinsip zero waste. Sebuah kantor yang juga dijadikan sebagai laboratorium sosial bagi publik dengan mencontohkan pengelolaan sampah yang bisa di duplikasi di rumah-rumah.
“Jadi kami coba membuat sistem yang memastikan agar pengelolaan sampah sudah terpilah sejak disumber. Sederhananya kami siapkan beberapa tempat untuk membuang sampah sesuai dengan apa-apa saja yang mungkin akan menjadi sampah di ruangan tersebut.” Ujar Hisyam, menjelaskan mengenai sistem pengelolaan sampah disana.
Tidak hanya itu, kantor ini juga menjadi salah satu pusat belajar bagi warga mengenai serba-serbi kembali kea lam, seperti belajar membuat kompos, dan berdiskusi soal krisis lingkungan secara setara.
“Kami bikin sistem ini agar bisa dirasakan langsung. Biar warga tidak hanya mengerti, tapi bisa praktik. Edukasi yang bisa disentuh,” ungkap staf edukasi.

Foto: Workshop di Urban Center YPBB
Perempuan sebagai Penggerak Utama
Lebih dari 70% pelanggan dan relawan di toko ini adalah perempuan. Bukan karena sengaja ditarget, tapi karena mereka memang pengambil keputusan sehari-hari di rumah: mulai dari belanja, memasak, hingga pengelolaan sampah.
Dengan semangat pelibatan, YPBB mengajak warga, yang didominasi oleh kalangan perempuan untuk tidak hanya menjadi objek edukasi, namun juga subjek-subjek penggerak yang ikut terlibat dalam Pembangunan ekosistem minim sampah di rumah.
“kita ajak perempuan terlibat untuk membangun sistemnya. Mereka lebih suka diambil sampahnya kapan sih? Mereka lebih suka seperti apa sih memilahnya? Itu kita ajak, kita diskusikan. Sehingga perempuan bisa benar-benar terlibat dalam prosesnya.” Tekan Hisyam.
Bagi YPBB, perempuan memegang peran sebagai kunci transformasi gaya hidup di rumah. Sebagai salah satu langkah perubahan dari suatu sistem sistemik untuk bisa mewujudkan visi yang sama, yaitu membuat dunia yang tetap aman dan nyaman bagi generasi masa depan.
Cerita Konsumen: Dari Uang Hemat ke Hati Tenang
Santo, pelanggan sejak 2019, mengaku transformasinya bermula dari keinginan menghemat.
“Yang pertama terasa itu hemat. Tapi lama-lama, jadi kepikiran juga: ini bukan soal duit, tapi soal tanggung jawab,” tuturnya.
Ia menyebut tantangan terbesarnya adalah membangun kebiasaan. Seperti cerita yang juga disampaikan oleh Disti, pelanggan seringkali terlupa untuk membawa wadah sendiri dengan anggapan aka nada wadah yang disediakan oleh Toko Organis. Hal tersebut juga dirasakan oleh Niken.
“Awalnya repot, bawa wadah sendiri, lupa. Tapi begitu terbiasa, justru lebih ringan. Dan puas karena tahu belanja kita nggak merusak lingkungan.” Ujarnya.
Relawan: Dari Resah ke Aksi Kolektif
Disti, salah satu relawan di Toko Organis menyatakan bahwa awal keterlibatannya di sini berdasarkan pada keresahan pribadinya terkait lingkungan, khususnya di sampah dan konsumsi yang berlebihan. Setelah bergabung dengan YPBB dan kemudian terlibat dalam pengelolaan Toko Organis, Disti merasakan dampak yang cukup transformasional.
“Nah disinilah aku melihat praktik nyatanya, harus seperti apa dan bagaimana. Bagaimana cara kita biar nggak konsumsinya berlebihan. Terus kita juga memang memakai kebutuhan kita secukupnya itu diajarinya disini.” Ucap Disti.
Keterlibatannya di Toko Organis banyak menghasilkan perbincangan-perbincangan dengan konsumen mengenai keluhan mereka mengenai sampah dan juga gaya hidup konsumtif. Tak hanya itu, Disti juga kerap kali mendapati bahwa kisah inspiratif dari orang-orang yang datang ke Toko Organis. Dari kisah dan obrolan tersebut, Disti memprosesnya menjadi sebuah usaha aksi kolektif yang dia sajikan dalam unggahan-unggahan media sosial Toko Organis.
Interaksinya dengan warga pun memperkuat rasa empati. “Kadang kami ngobrol sama pelanggan soal susahnya buang sampah, soal tetangga yang masih bakar plastik. Dari situ kami belajar bareng.”
Perspektif Pemerintah: Refill Diakui dan Didukung Regulasi
Menurut Hanifan Adi Nugroho, Pelaksana Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat, sistem refill seperti yang dijalankan YPBB sejalan dengan regulasi nasional, khususnya melalui pendekatan Extended Producer Responsibility (EPR).
“Ada Permen LH tahun 2005 soal EPR. Di situ produsen wajib bertanggung jawab atas kemasan yang dihasilkannya, termasuk refill atau saset,” ungkap Hanifan.
Ia juga menekankan bahwa masyarakat dan komunitas punya peran langsung dalam pengelolaan sampah, sesuai Undang-undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
“Pengelolaan sampah bukan cuma tugas pemerintah. Semua stakeholder, termasuk komunitas seperti YPBB, punya kewajiban. Dan itu sudah ada dasar hukumnya,” tegasnya.
Hanifan menjelaskan bahwa indikator kinerja pemerintah sekarang tak hanya soal penanganan sampah, tapi juga pengurangan dari hulu. Inisiatif seperti refill dan bank sampah berperan penting dalam mencapai target ini.
Kolaborasi, Bukan Kompetisi
Toko Organis menjadi bagian dari jaringan global seperti Break Free From Plastic dan Reuse SIG. Mereka tak hanya belajar dari gerakan global, tapi juga menyumbangkan praktik lokal yang bisa ditiru komunitas lain.
“Kami sudah punya panduan buka toko refill. Sudah ada yang replikasi di kota lain. Intinya, ini gerakan yang bisa diperbanyak, bukan dimonopoli,” kata Hisyam.
Bukan Sekadar Toko, Tapi Titik Awal Sebuah Gerakan
Toko Organis YPBB menunjukkan bahwa perubahan bisa dimulai dari keputusan sekecil “membawa wadah sendiri” untuk perubahan besar yang dimulai dari rumah. Ini bukan sekadar gaya hidup ramah lingkungan. Ini adalah bentuk keberanian mengambil alih kendali atas masa depan yang lebih aman dan nyaman bagi generasi selanjutnya.

Foto: Keluarga Besar YPBB
Selain itu, toko ini juga berperan dalam ekonomi sirkular yang memperkuat ekosistem lokal dalam pengurangan limbah dan peningkatan nilai guna produk.
“Mereka tidak hanya mengurangi kemasan plastik sekali pakai, tetapi juga menghidupkan kembali praktik lama yang ramah lingkungan, seperti pembelian curah, penggunaan wadah isi ulang, dan konsumsi produk lokal berbasis komunitas. Praktik ini pada akhirnya membantu mengurangi jejak karbon konsumsi dan mendukung ekonomi lokal.” Pungkas Ikrom.
“Mulai dari langkah paling kecil: bawa botol, beli secukupnya, lalu cerita ke orang lain. Dari situ, gerakan ini bisa membesar,” tutup Disti.
Artikel ini merupakan bagian dari serial liputan kolaborasi #PerempuanRawatBumi Bersama media anggota Women News Network (WNN), didukung oleh Internasional Media Support (IMS). Informasi soal WNN bisa diakses di