Perempuan, Bertahan, dan Makna Baru Sebuah Pernikahan

Hasemi

No Comments

Kutub.co- Selama bertahun-tahun, kata “bertahan” menjadi identitas moral bagi perempuan dalam pernikahan. Ia dilekatkan pada citra kesetiaan, pengorbanan, dan keutamaan batin. Namun di tengah perubahan sosial dan meningkatnya kesadaran perempuan atas hak-haknya, makna bertahan itu kini tengah mengalami pergeseran yang signifikan.

Pergeseran ini tidak dimulai dari amarah, melainkan dari kesadaran baru tentang kesejahteraan dan martabat diri. Di balik meningkatnya angka cerai gugat di Indonesia, bukan sekadar cerita tentang hubungan yang gagal, melainkan cermin bahwa perempuan kini ingin hidup dengan lebih sehat baik secara fisik, emosional, maupun spiritual.

Bertahan yang Tidak Lagi Buta

“Bertahan” dulu sering dimaknai sebagai kebajikan mutlak, semakin lama seorang perempuan bertahan, semakin besar pula penghargaan sosial yang ia terima. Namun, di balik narasi itu, banyak perempuan memendam luka dari kekerasan verbal, beban ekonomi, hingga tekanan emosional yang terus diabaikan.

Kini, bertahan sedang ditafsir ulang. Ia tidak lagi identik dengan pasrah, tetapi dengan kesadaran dan pilihan. Psikolog Anisa Cahya Ningrum, dikutip dari Cantika.com, menyebut tren cerai gugat sebagai tanda bahwa perempuan kini lebih rasional dan bertanggung jawab dalam menilai relasi.

“Perempuan semakin sadar bahwa menjaga pernikahan tidak harus berarti meniadakan diri sendiri,” ujarnya.

Perubahan ini tumbuh dari dua kekuatan utama: akses terhadap informasi dan kemandirian ekonomi. Kedua hal ini memberi perempuan ruang untuk berpikir, menilai, dan mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan yang lebih utuh bukan sekadar norma sosial yang diwariskan.

Dari Norma ke Nilai: Transformasi Sosial yang Tenang

Transformasi ini tidak berarti perempuan meninggalkan nilai-nilai keluarga. Justru sebaliknya: mereka sedang menegaskan nilai-nilai baru di dalamnya bahwa rumah tangga seharusnya menjadi ruang saling tumbuh, bukan ruang menekan.

Perubahan pandangan ini menunjukkan bahwa masyarakat mulai beranjak dari pola pikir “istri baik harus bertahan” menuju “pasangan baik harus saling menjaga.”

Dalam banyak forum daring, pengajian keluarga muda, hingga diskusi komunitas perempuan, topik kesehatan mental dan relasi setara kini menjadi tema rutin. Ini menandakan lahirnya kesadaran baru yang tidak anti terhadap institusi pernikahan, tetapi kritis terhadap ketimpangan di dalamnya.

“Perempuan yang memilih pergi dari relasi toksik bukan sedang melawan kodrat,tetapi sedang menjalankan tanggung jawab moral untuk menjaga keselamatan dirinya.”kartanya.

Kesehatan Mental sebagai Nilai Relasional Baru

Salah satu tonggak penting perubahan ini adalah kesadaran akan kesehatan mental. Dulu, penderitaan emosional dianggap bagian dari pengorbanan. Kini, ia mulai dibaca sebagai tanda ketimpangan relasi yang perlu diperbaiki.

Banyak perempuan memilih bercerai bukan karena kehilangan cinta, tetapi karena ingin menciptakan ruang hidup yang lebih damai bagi diri dan anak-anaknya.

“Kadang perceraian bukan akhir, tapi awal dari kehidupan yang lebih sehat bagi seluruh keluarga,” ujar Anisa.

Dengan begitu, kesehatan mental tidak lagi dipandang sebagai urusan pribadi, melainkan bagian dari tanggung jawab bersama suami, istri, dan masyarakat. Relasi yang sehat bukan lagi yang lama bertahan, tetapi yang memberi ruang tumbuh bagi semua pihak.

Mendefinisikan Ulang Kesetiaan dan Kebahagiaan

Fenomena cerai gugat bukan sekadar statistik, tetapi refleksi pergeseran nilai moral di masyarakat modern.Kesetiaan tidak lagi diukur dari seberapa kuat seseorang bertahan dalam luka, melainkan seberapa jujur ia terhadap kebutuhannya sendiri dan pasangannya.

Rumah tangga kini sedang ditulis ulang, dari simbol kepatuhan menjadi ruang kolaborasi emosional. Dari sistem hierarkis menjadi kemitraan sejajar. Dan perempuan melalui keberanian untuk mengambil keputusan sulit telah menjadi bagian penting dari proses evolusi nilai itu.

Seperti disampaikan Anisa Cahya Ningrum, “Keputusan untuk bercerai bukanlah tanda kelemahan, melainkan langkah untuk menemukan kembali keseimbangan hidup.”

Dari Bertahan ke Bertumbuh

Pada akhirnya, yang berubah bukan hanya cara perempuan memaknai pernikahan, tetapi juga cara kita masyarakat melihat perempuan.Pernikahan tidak lagi dipandang sebagai benteng yang harus dipertahankan apa pun kondisinya, melainkan taman yang perlu dirawat agar semua yang hidup di dalamnya dapat tumbuh.

Bertahan tetaplah penting, tetapi bertahan tanpa kesejahteraan batin bukanlah kemuliaan itu beban yang perlahan sedang kita lepaskan bersama.

beraktivitas, Bertahan, kesehatan mental, Perceraian, Perempuan, pernikahan

Artikel Lainnya

Queen Mentality: Belajar Batasan, Kendali Emosi, Mindset, dan Energi

5 hal Yang Perlu Dipersiapkan Sebelum Ke Psikolog

Hey Kutubers! Stres? Coba 5 Kegiatan ini dan Rasakan Bedanya!

Leave a Comment