Kutub.co– Semakin banyak perempuan aktif di ruang digital. Tidak hanya jadi pengguna pasif, mereka menjadikan internet sebagai medium berekspresi. Akan tetapi, akses dan keterlibatan perempuan di ruang digital ini terus dibayang-bayangi bahaya di dunia maya. Sama halnya di dunia nyata, perempuan juga memiliki kerentanan di dunia maya.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan yang dirilis Maret lalu menyebut, sekurangnya ada tiga kerentanan, yaitu kekerasan gender berbasis online (KBGO), layanan-layanan keuangan digital yang menyasar perempuan, dan distorsi visualisasi perempuan di media sosial.
Content creator penyelia halal, Leli Azizah berbagi pengalamannya tentang kekerasan siber yang pernah dialaminya kepada digitalMamaID pada Mei 2024 lalu. Ia mengungkapkan, kerap kali menerima komentar bernada kasar, bahkan hate speech. “Kayanya tiap konten aku itu, ada aja yang “dirujak”, karena pertama, pro kontra dan aku suka main di ‘pinggir jurang’. Jadi banyak komentar-komentar yang ‘apa sih ribet’ atau ‘sok-sokan lu’,” ungkap Leli.
Sejak memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya di sektor formal, Leli secara tidak sengaja menemukan jalan barunya sebagai content creator. Pengalamannya bekerja di industri makanan dan minuman membuatnya memiliki banyak ilmu yang bisa dibagi. Sampai akhirnya ia tingginya minat masyarakat terkait informasi kehalalan suatu produk. Akhirnya ia fokus membuat konten edukasi terkait kehalalan produk.
Menjadi content creator membuat Leli setiap hari berhadapan dengan netizen. Menurutnya, ada sekitar 20% yang benar-benar hate speech di akun TikTok miliknya dan ada sekitar 25% di akun Instagram. Hanya saja di Instagram, banyak konten yang di-repost atau di-posting ulang oleh orang lain atau di profile orang lain. Sehingga serangan-serangan terhadap dirinya juga berlangsung di akun orang lain. Serangan itu bahkan mengarah ke personal, sampai ke body shamming. Komentar negatif itu diketahui setelah muncul ratusan komentar dan mention.
Seorang pekerja swasta, Lala (bukan nama sebenarnya) harus berhenti dari kantornya setelah fotonya diedit tidak senonoh dan disebarkan ke rekan-rekan kerjanya. Semua itu terjadi setelah ia menggunakan pinjaman online (pinjol) ilegal. “Saya takut jejak digital, itu yang paling saya takutkan,” ujarnya saat ditemui digitalMamaID pada Maret lalu. Sebagai seorang ibu, ia khawatir anaknya akan mendapati gambar editan itu di internet.
Cerita-cerita ini membuktikan kerentanan perempuan yang dicatat oleh Komnas Perempuan. Perempuan kerap kali menjadi korban. Kerentanan-kerentanan yang menyasar perempuan yang terjadi ini menurut Agnes Gurning, Gender Analyst di UNDP (United Nations Development Programme) Indonesia karena belum kuatnya regulasi di ruang digital. “Komnas Perempuan sendiri juga mencatat memang ada regulasi yang mengatur area digital ini. Ada UU TPKS juga kekerasan seksual berbasis online ada masuk di sana, UU ITE juga mengatur tentang ini, KUHP dan UU Perlindungan Data Pribadi juga ada komponen yang mengatur tentang ranah digital. Akan tetapi di produk-produk hukum tersebut masih menyisakan ruang-ruang kosong,” ungkapnya ketika diwawancara oleh digitalmamaID.
Persoalan kedua, kata Agnes, literasi perempuan terhadap media digital relatif masih rendah. Banyaknya perempuan yang menjadi korban pinjol merupakan bukti rendahnya literasi. Literasi tidak hanya dalam penggunaan digital security, tetapi juga risiko tentang kekerasan berbasis gender yang terjadi di online, pemahaman tentang hal tersebut nantinya akan ikut mempengaruhi jumlah insiden KBGO yang terjadi maupun pelaporannya.
“Jika merujuk catatan tahunan Komnas Perempuan untuk kekerasan berbasis gender, kecenderungannya di dua tahun terakhir ini di ranah publik, kekerasan seksual berbasis elektronik itu menjadi yang paling tinggi jumlahnya. Dua tahun sebelumnya itu masih nomor tiga, sekarang dua tahun berturut-turut sudah jadi nomor satu,” ungkapnya.
Hal ini di satu sisi mencerminkan memang ruang digital masih banyak celah. Di sisi lain, pelaporan kasus semacam ini semakin meningkat. Hal ini menunjukkan kesadaran pengguna digital juga semakin baik. Jadi penting untuk penguatan kerangka regulasi, kesadaran, kemudian mekanisme untuk pelaporan dan penanganannya.
“Jadi memang perlu diperbaiki dari berbagai sisi, baik dari pembuat kebijakan (pemerintah) dan penyedia layanan. Si digital platform ini perlu didesak untuk menyusun kerangka aturan yang memastikan fitur-fitur aman di berbagai media digital platform yang tersedia. Kemudian juga penyadaran terhadap publik terlebih kelompok perempuan literasinya harus perlu di digalakan,” lanjutnya.
Mencapai gender equality
Head of Communications United Nations Development Program (UNDP) Indonesia, Devi Nugraha, menambahkan soal inklusivitas sebagai indikator keamanan bagi perempuan di ruang digital yang perlu diperbaiki. Ruang digital seharusnya menjadi tempat untuk semua orang, bukan hanya kalangan atau gender tertentu yang memiliki akses.
UNDP sendiri dalam mandatnya, menganggap bahwa kesetaraan gender adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan sehari-hari, kegiatan kerja, baik yang sifatnya proyek atau program semuanya ditinjau dari lensa atau kerangka kesetaraan gender. Bahkan secara global, UNDP juga punya gender equality strategy yang terus menerus diperbarui. Sekarang UNDP memasuki gender equality strategy tahun 2022 sampai 2025. Beberapa prioritasnya diantaranya, soal poverty, inequality, governance, resilience, kemudian environment, energy dan gender equality.
“Ini merupakan tugas kita bersama, bukan hanya tugas segelintir maupun kelompok orang yang concern terhadap pemberdayaan perempuan. Sehingga UNDP ingin ikut berperan aktif terutama dalam hal gender equality yang berfokus terhadap pembangunan berkelanjutan, karena ada area-area yang menurut kami agak luput dari fokus banyak pihak, terutama area-area yang non-mainstream, misalnya climate change, soal energi, soal resilience. Konteks di Indonesia sendiri sekarang memang sedang bergelut soal kekerasan perempuan di dunia digital maupun beberapa isu di sektor kesehatan,” paparnya.
Lebih lanjut pemberdayaan perempuan, menurut Devi, perlu dilakukan sebagai upaya yang terus menerus dan “lebih berisik” lagi untuk meluaskan suara serta berkolaborasi dengan media yang punya isu dan concern yang sama. Sebagai organisasi internasional yang bergerak dengan berbagai macam inisiatif program, UNDP Indonesia merasa belum cukup menjangkau seluruh daerah.
“Kita percaya bahwa memang harusnya gender equality is leaving no one behind dan akses itu mestinya dibuka untuk semuanya. Makanya salah satu hal yang ingin kami lakukan adalah bukan hanya bekerja sama dengan teman-teman media yang fokusnya di Jakarta tapi, fokusnya menyebar ke daerah-daerah, terutama daerah 3T yang infrastruktur dan aksesnya belum banyak terbuka,” tuturnya.
Kolaborasi media perempuan mendorong ruang digital yang aman untuk perempuan
digitalMamaID bersama lima media perempuan, Magdalene, Katong NTT, Kutubdotco, Bincang Perempuan beserta Dewiku dan Indonesian Institute of Journalism (IIJ) berkolaborasi dengan UNDP Indonesia mengkampanyekan ruang digital yang aman bagi perempuan. Kolaborasi ini, menurut Eva Danayanti, selaku Program and Bussiness Development (IIJ) dilakukan untuk menjawab persoalan di tengah perkembangan teknologi digital yang sangat pesat, masih ada persoalan kesetaraan.
“Hampir 50% perempuan di Indonesia belum bisa mengakses ruang digital. Kasus kekerasan berbasis gender di ruang digital masih sering terjadi. Mendukung keberadaan dan keberlangsungan media perempuan akan berkontribusi pada perwujudan ruang digital yang lebih baik untuk literasi perempuan di Indonesia,” ungkapnya.
Catur Ratna Wulandari, selaku Editor in Chief digitalMamaID, melihat ke belakang bahwa pandemi memberi lompatan yang besar bagi perempuan di ruang digital, melalui internet perempuan tidak hanya menjaga kesehatan keluarga tetapi mempertahankan perekonomian keluarga. Perempuan tampil sebagai tulang punggung perekonomian keluarga bahkan ekonomi Indonesia, di tengah perekonomian yang terpuruk.
“Tren yang baik ini tidak boleh berhenti karena ruang digital yang tidak aman. Untuk itu, kami berkolaborasi untuk mendorong hadirnya ruang digital yang lebih aman bagi perempuan, sehingga perempuan bisa meningkatkan keterampilan, pengetahuan juga membuka potensi-potensi yang dimilikinya,” lanjut Ratna.
Hal serupa juga diungkapkan Betty Herlina, Pemimpin Redaksi Bincang Perempuan, bahwa ruang digital yang aman akan meningkatkan partisipasi perempuan dalam aktivitas online seperti pendidikan maupun pekerjaan. Hal ini dapat mengurangi ketimpangan gender diakibatkan dampak teknologi.
“Partisipasi media perempuan dalam mempromosikan ruang digital yang aman adalah hal penting untuk menciptakan lingkungan digital yang lebih kondusif, adil dan aman bagi semua perempuan, dan menciptakan ruang digital yang aman bagi perempuan adalah esensial untuk mencapai kesetaraan gender, melindungi hak asasi manusia dan memastikan bahwa perempuan dapat meraih potensi penuh mereka dalam ruang digital aman,” papar Siti Latifah, Pemimpin Redaksi Kutubdotco.
Pemimpin Redaksi Katong NTT, Rita Hasugian juga siap bekerjasama mengkampanyekan ruang digital bagi perempuan. Baginya adalah penting, dalam hal ini dengan UNDP dan media-media yang memiliki visi serupa. “Sehingga perempuan-perempuan khususnya di NTT boleh berbagi informasi dan melaksanakan aktivitas mereka dengan memanfaatkan ruang digital ini dengan baik. Tentunya ada risiko tapi semuanya bisa diatasi kalau kita memiliki literasi dan bersama-sama mengatasinya,” lanjutnya.
Pemimpin Redaksi Magdalene, Devi Asmarani menilai kehadiran perempuan di ruang digital saat ini sangat dominan dalam kehidupan sehari-hari. Di ruang digital, perempuan melakukan pekerjaan, berkomunikasi, mengurusi hal-hal yang bersifat administratif seperti banking bahkan sampai hiburan pun ada di ruang digital.
“Namun, sayangnya perempuan adalah salah satu kelompok yang cukup rentan terhadap kekerasan, pelecehan bahkan kriminalitas berbasis online. Karena itu, kolaborasi media berfokus perempun ini sangat penting untuk menjaga ruang digital agar aman untuk perempuan. Karena kami membawa perspektif gender yang lebih kuat mungkin dibandingkan media-media arus utama lainnya,” tambah Devi.
Bagi Ririn Indriani, Managing Editor Dewiku, menciptakan ruang digital yang aman bagi perempuan, tentu memerlukan pemahaman literasi digital yang baik. Disinilah peran penting media perempuan untuk mengedukasi hal tersebut, tidak hanya kepada perempuan tetapi juga kepada masyarakat untuk menciptakan lingkungan digital yang aman, inklusif, berkeadilan dan berkesetaraan gender. Sehingga perempuan bisa bebas dan bertanggung jawab mengekspresikan dirinya di ruang digital.
Agnes menyambut baik kolaborasi ini, baginya ini bisa menjadi milestone yang penting bagi UNDP. “Berkolaborasi dengan teman-teman media yang dimotori oleh perempuan ini lebih efektif dan membantu memunculkan sosok-sosok perempuan di media, sehingga di saat yang bersamaan juga narasi di media akan terimbangi, narasi yang lebih ramah perempuan, tidak ada stereotyping, narasi yang mem-promote soal kesetaraan gender” harapnya.
Devi mengatakan, kolaborasi yang cukup transformatif ini harapannya dapat menyuarakan sebanyak-banyaknya kesempatan dan urgensi peran perempuan dalam berbagai bidang secara menyeluruh. Tidak hanya fokus di area tertentu supaya sesuai dengan prinsip UNDP, leaving no one behind, tidak ada yang tertinggal. “Kemenangan untuk perempuan adalah kemenangan untuk semua,” ujarnya. [*]
Arikel ini diproduksi sebagai bagian dari proyek Women Media Collabs (https://jurnalisme.id/womenmediacollabs/) didukung oleh UNDP Indonesia