Merawat Luka: Catatan Sunyi Seorang Mahasiswa

Hasemi

No Comments

Penulis: Sahla Hanida Gustiani

Tak semua luka terlihat, dan tak semua tangisan bersuara. Di balik senyum seorang mahasiswa, kadang ada badai yang dipendam dalam diam.

Kutub.co-Saya tidak pernah benar-benar tahu kapan semuanya mulai terasa berat. Awalnya hanya sulit tidur, lalu menjadi mudah lelah secara emosional. Belakangan ini, saya kerap kali menangis diam-diam, di sela kesibukan kuliah atau saat kembali ke kamar kos. Ada perasaan hampa yang sulit saya jelaskan. Rasanya seperti berjalan setiap hari tanpa arah, meski secara fisik saya tetap hadir di kelas, menyelesaikan tugas, dan berinteraksi dengan teman-teman.

Sebagai mahasiswa, saya terbiasa menampilkan diri yang terlihat baik-baik saja. Saya tetap tersenyum, aktif, dan tampak kuat. Padahal, dalam hati saya menyimpan banyak hal. Saya merasa tidak memiliki tempat aman untuk bercerita. Bahkan kepada orang terdekat pun, saya sering kali kesulitan membuka diri. Perasaan tidak ingin merepotkan orang lain dan rasa takut dianggap lemah membuat saya memilih memendam semuanya sendirian.

Ada kalanya saya sangat membutuhkan pelukan bukan sekadar bentuk perhatian, melainkan sebagai ruang untuk meluapkan semua yang selama ini saya pendam. Namun saya hanya bisa diam. Banyak orang bilang hidup saya terlihat menyenangkan, mudah, bahkan “enak banget.” Padahal tidak. Mereka tidak tahu apa yang saya hadapi.

Terkadang, saya kesulitan tidur hingga menjelang subuh. Esok harinya, saya tetap harus hadir di kampus, menyembunyikan mata yang bengkak akibat tangisan malam sebelumnya. Di hadapan orang lain, saya berusaha menampilkan senyum, seakan semuanya baik-baik saja. Padahal, di balik itu semua, saya tengah berjuang mempertahankan kewarasan. Saya meyakini satu kutipan sederhana:

Kita mungkin boleh meragukan diri sendiri, tetapi tidak dengan doa orang tua.” Kalimat itu sering menjadi penguat di tengah kondisi batin yang tak menentu.

Saya menempuh pendidikan tinggi dengan penuh perjuangan. Namun saya sering menghadapi pembandingan dari kakak saya sendiri, seakan jalan yang saya pilih tidak dihargai. Padahal setiap orang memiliki waktu dan jalannya masing-masing menuju keberhasilan. Dukungan yang saya harapkan dari seorang kakak bukan berupa perbandingan, melainkan pelukan yang menenangkan, dorongan yang tulus, dan ruang aman untuk menyampaikan apa yang saya rasakan.

Jika ditanya apa yang paling menyedihkan dalam hidup saya saat ini, saya akan jawab: saya belum bisa berdamai dengan hal-hal yang menyakitkan. Saya masih menangisi masa lalu. Masih menyesali hal-hal yang terjadi. Hidup memang terus berjalan, tapi batin saya masih terperangkap di masa yang penuh trauma.

Saya pernah mengalami hal yang sangat menyakitkan. Di bangku kuliah, saya merasa dijatuhkan oleh seseorang yang saya anggap teman. Kata-katanya menusuk, menyakitkan, dan penuh penghakiman. Padahal ia tahu saya adalah perempuan yang rapuh. Sejak saat itu, kuliah tidak pernah terasa nyaman lagi. Saya bahkan sempat berpikir untuk mengundurkan diri.

Sejak kejadian itu, saya merasakan adanya perubahan besar dalam diri saya. Hati saya menjadi jauh lebih sensitif mudah terluka dan rentan terhadap bentakan maupun perlakuan kasar. Salah satu momen yang paling membekas adalah ketika seorang teman menyebut saya sebagai “otak kapitalis” dan menyebarkan narasi negatif tentang saya di media sosial. Padahal, itu adalah persoalan pribadi, bukan persoalan organisasi. Saya mulai merasa tidak nyaman, baik di ruang kelas maupun di lingkungan organisasi. Saya mencoba tetap sabar dan tersenyum, tetapi hati kecil saya tidak bisa membohongi rasa sakit yang terus mengendap.

Setiap kali ingin menyampaikan pendapat di kelas, saya kerap diliputi rasa takut akan kembali disalahkan atau dihakimi. Maka, saya memilih diam. Anehnya, perasaan ini lebih sering muncul di ruang formal seperti kelas. Berbeda saat saya bersama teman-teman di luar, di mana saya bisa lebih bebas menjadi diri sendiri.

Namun saya tidak pernah bercerita kepada siapa pun. Saya memilih menulisnya di buku kecil tempat rahasia yang menjadi saksi luka-luka yang tidak bisa saya ucapkan. Saya memang penakut. Takut mengecewakan orang lain, takut membuat orang marah, takut menjadi beban. Maka, saya belajar untuk mengutamakan kebahagiaan orang lain, meski harus mengabaikan perasaan sendiri.

Setiap kali saya kembali ke kosan, saya menangis. Saya meminta maaf kepada diri sendiri. Saya peluk tubuh saya sendiri. Hanya itu yang bisa saya lakukan.

Sampai pada satu titik, saya membaca tentang pentingnya bersikap lembut kepada diri sendiri. Bahwa kita berhak merasa lelah. Bahwa tidak apa-apa jika tidak kuat setiap saat. Saya mulai belajar tidur lebih cukup, menulis isi hati dalam jurnal, dan sesekali mengatakan “tidak” tanpa rasa bersalah. Bagi orang lain ini sepele, tapi bagi saya, ini adalah bentuk kecil dari memeluk diri sendiri.

Saya juga pernah membaca bahwa mahasiswa adalah kelompok yang sering memendam banyak hal. Survei Kementerian Kesehatan RI tahun 2022 menyebutkan bahwa lebih dari 50% mahasiswa mengalami stres dan gangguan emosional ringan. Namun hanya sebagian kecil yang mencari bantuan profesional. Tekanan besar, tapi ruang bicara sempit. Banyak dari kita belajar untuk terlihat kuat, padahal sedang berjuang dalam diam.

Karena itulah, merawat diri dari dalam menjadi penting. Kita tidak bisa selalu mengandalkan orang lain untuk memahami, tapi kita bisa mulai memahami diri kita sendiri.

Meski begitu, saya percaya bahwa Allah tidak pernah tidur. Segala kejadian yang saya alami bukanlah tanpa alasan. Allah Maha Mengetahui isi hati. Saya yakin, di balik ujian ini, tersimpan rencana indah yang belum saya pahami. Keyakinan itu membuat saya bertahan. Saya percaya, semakin baik niat seseorang, maka akan semakin berat pula ujian yang harus ia lewati.

Saya tidak pernah menganggap diri saya sebagai pihak yang paling benar. Namun saya berusaha menjadikan semua ini sebagai pelajaran berharga untuk terus tumbuh, memperbaiki diri, dan mengambil hikmah dalam setiap proses kehidupan.

Melalui tulisan ini, saya tidak bermaksud menggambarkan bahwa saya telah sepenuhnya pulih. Saya masih berada dalam proses, dan mungkin akan terus belajar menerima diri saya dalam segala kondisi. Tapi saya percaya, keberanian untuk mengakui bahwa saya tidak baik-baik saja adalah langkah awal yang paling penting.

Karena tak ada pelukan yang lebih tulus daripada pelukan dari diri sendiri yang tahu setiap luka, tapi tetap memilih bertahan.

kesehatan mental, mahasiswa, Memeluk diri, Perempuan, Self Love

Artikel Lainnya

Queen Mentality: Belajar Batasan, Kendali Emosi, Mindset, dan Energi

7 Cara Melatih Anak agar Memiliki Mental yang Kuat dan berani

MBTI

Kenalan dengan MBTI, Istilah Psikologi Untuk Tes Kepribadian

Leave a Comment