Menunaikan Rindu

siti fatonah

No Comments

Sumber Foto: Penjengukan Santri PP Nurul Iman

Melihat dokumentasi penjengukan santri baru, hati ini ikut terenyuh. Sebagai seseorang yang tak pernah resmi menjadi santri, dunia pesantren sebenarnya asing bagi saya. Namun karena kini mengajar di madrasah berbasis pesantren, sedikit demi sedikit saya bisa merasakan denyut kehidupan mereka. Dari rutinitas harian, suasana asrama, hingga perasaan yang paling manusiawi: kangen rumah, kangen keluarga, kangen suasana yang dulu begitu dekat.


Di lini masa WhatsApp dan TikTok, saya sering melihat unggahan para orang tua santri. Ada raut wajah haru, ada mata yang sembab, ada pelukan yang begitu erat seakan tak ingin dilepaskan. Di momen itulah rindu yang tertahan akhirnya terbayar. Orang tua menitipkan anaknya kepada pesantren bukan tanpa pergulatan batin. Mereka sedang belajar ikhlas, menguatkan hati dan menata rindu yang setiap hari mengetuk dada.
Empat puluh hari pertama di pondok menjadi masa yang paling berat.

Dalam tradisi banyak pesantren, fase ini memang menjadi syarat: tidak ada kunjungan, tidak ada pertemuan. Anak dan orang tua sama-sama belajar menahan diri. Bagi santri, ini adalah masa adaptasi; belajar hidup mandiri, jauh dari kenyamanan rumah, dan melatih diri untuk “kerasan” dalam suasana baru. Bagi orang tua, ini adalah latihan melepas—melepas kelekatan, melepas rasa cemas, dan menggantinya dengan doa yang tak pernah putus. Dari sisi psikologis, masa ini penting sekali. Anak yang berhasil melewati fase ini biasanya akan lebih cepat menemukan ritme hidupnya di pondok. Ia belajar resilien, yakni kemampuan bangkit dan beradaptasi di tengah situasi baru.

Sementara orang tua yang mampu menahan rindu dengan doa dan dukungan emosional dari jauh, justru sedang membangun ikatan psikologis yang lebih sehat: ikatan yang tidak lagi semata didasari kehadiran fisik, melainkan keteguhan hati dan doa yang tulus. Pada akhirnya, menunaikan rindu bukan sekadar melepas kangen. Ia adalah proses mendewasakan jiwa, melatih kesabaran, dan menguji keikhlasan. Rindu itu sendiri adalah bahasa cinta, yang jika dikelola dengan sabar, akan menjelma menjadi kekuatan. Maka pelukan setelah empat puluh hari bukan hanya penawar rindu, tetapi juga penanda bahwa mereka—anak dan orang tua—telah sama-sama lulus dari ujian batin pertama dalam perjalanan mondok.

Kelak, rindu-rindu berikutnya tidak lagi menakutkan. Sebab mereka tahu, setiap jarak yang terbentang hanyalah jalan menuju kedewasaan, dan setiap pertemuan selalu menjadi rumah bagi cinta yang tertunda.

Menunaikan Rindu, Pondok, Santri

Artikel Lainnya

Boleh Gak Sih Minum Obat Penunda Haid Biar Puasa Full? Ini Kata Dr. Neng Hannah

Bagaimanasih Mencegah Dehidrasi Saat Berpuasa?

Karnaval Budaya Nusantara Nurul Iman diikuti Ribuan Peserta

Leave a Comment