Kuliah Umum Internasional UIN SGD Bandung Ungkap Dinamika Gender dan Resistensi Tanpa Kekerasan Perempuan Batak Toba

Hasemi

No Comments

Bandung, 11/11, Kutub.co- Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Jati (UIN) Bandung bekerja sama dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) menyelenggarakan International Public Lecture bertajuk “Women in Peacebuilding: Gendered Dynamics of Non-violent Resistance in Indonesia.”

Acara yang digelar di kampus UIN Sunan Gunung Jati Bandung ini menghadirkan pembicara utama, Maria (Masha) Kardashevskaya, Ph.D, seorang pakar Peace and Conflict Studies dari University of Manitoba, Kanada, yang saat ini juga menjadi visiting lecturer di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Peran PSGA dalam Mendorong Diskursus Gender dan Perdamaian

Ketua PSGA UIN Bandung, Irma Riyani, Ph.D, menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari agenda tahunan international public lecture yang digagas oleh LP2M melalui PSGA. Ia menegaskan bahwa PSGA terus berkomitmen memperkuat pengarusutamaan gender, penghapusan kekerasan seksual, dan advokasi terhadap kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas.

“Kehadiran narasumber internasional ini membuka wawasan baru bagi sivitas akademika UIN Bandung tentang pentingnya peran perempuan dalam membangun perdamaian berbasis kearifan lokal,” ujar Irma Riyani.

Makna Perdamaian Positif dan Dinamika Konflik Sosial

Dalam paparannya, Maria menekankan bahwa konflik sosial tidak semata disebabkan oleh perbedaan kepentingan terhadap kekuasaan atau sumber daya, tetapi juga oleh faktor kultural yakni persepsi masyarakat tentang apa yang dianggap benar, adil, dan layak.

Ia memperkenalkan konsep “Positive Peace” (Perdamaian Positif), yaitu perdamaian yang tidak hanya berarti ketiadaan kekerasan, tetapi juga hadirnya kesejahteraan sosial, keadilan, kesetaraan, dan harmoni. “Perdamaian sejati,” ungkapnya, “adalah transformasi terhadap kekerasan struktural dan kultural yang berlangsung dalam masyarakat.”

Perempuan Batak Toba dan Resistensi Nir-Kekerasan

Salah satu fokus kuliah Maria adalah penelitian lapangannya di komunitas Batak Toba, Sumatera Utara, yang menyoroti strategi resistensi perempuan terhadap ketidakadilan struktural dan adat yang patriarkal.

Dalam penelitiannya, Maria menemukan bahwa perempuan berperan sebagai direct resisters (pelaku resistensi langsung), sementara laki-laki lebih sering menjadi framers (pembingkai wacana atau narasi). Meskipun demikian, peran kepemimpinan perempuan sering kali terhapus dari sejarah perjuangan sosial.

Perempuan Batak Toba digerakkan oleh ethics of care – etika kepedulian terhadap anak, keluarga, dan kelangsungan hidup (livelihood) – sementara laki-laki cenderung berorientasi pada ethics of justice, yaitu pembelaan atas hak-hak tanah dan marga.

Strategi resistensi perempuan pun bersifat kreatif dan praktis, misalnya melalui aktivisme pertanian (farming as resistance) dengan menanam nanas di lahan sengketa, serta penggunaan tubuh dan emosi sebagai alat protes, termasuk aksi simbolik disrobing (melepas pakaian) di depan aparat sebagai bentuk shaming (mempermalukan), self-protection, dan ekspresi komitmen moral yang kuat terhadap perjuangan.

Ketegangan antara Adat dan Gender

Maria menyoroti bahwa meskipun nilai-nilai adat seperti marga, dalihan na tolu, dan bona pasogit penting bagi kohesi sosial, struktur patriarki dalam masyarakat Batak Toba menyebabkan perempuan terutama janda dan yang bercerai mengalami ketidakamanan sosial dan ekonomi.

“Relasi kuasa berbasis gender dalam sistem adat perlu ditransformasikan agar budaya menjadi lebih ramah terhadap pihak rentan,” ujarnya. “Perubahan sosial memang memerlukan waktu panjang, namun kesadaran gender dalam adat dan agama adalah langkah awal menuju masa depan yang lebih adil.”

Pesan Penutup: Perdamaian dan Pemberdayaan

Menutup kuliah umum, Dr. Maria menegaskan bahwa setiap gerakan akar rumput dan pembangunan perdamaian harus memastikan ruang bagi pemberdayaan perempuan dan diskusi keadilan gender.

“Kita tidak bisa bicara perdamaian tanpa keadilan gender. Kesadaran terhadap relasi sosial yang setara adalah fondasi bagi perdamaian yang berkelanjutan,” pungkasnya.

Sebagai penutup reflektif, Ketua PSGA menambahkan bahwa peran perempuan dalam perdamaian ibarat air yang mengikis batu: lembut namun konsisten, tidak keras namun mampu mengubah struktur paling kaku melalui kepedulian, ketekunan, dan kreativitasnya.

Tentang PSGA UIN Sunan Gunung Jati Bandung

Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) merupakan unit di bawah LP2M UIN Sunan Gunung Jati Bandung yang berfokus pada penelitian, advokasi, dan penguatan kebijakan berbasis kesetaraan gender. PSGA juga menaungi Pusat Pelayanan Kekerasan Seksual (P2KS) dan aktif mengembangkan program pemberdayaan perempuan, anak, serta penyandang disabilitas.

kekerasa seksual, Kesetaraan, Kuliah umum, Perempuan, Remaja, UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Artikel Lainnya

Suara Ibu Indonesia: Lindungi Mahasiswa dan Batalkan UU TNI

Kolaborasi untuk Perempuan: Digital Aman, Kita Nyaman

Dari Lorong Kampus ke Barisan Perubahan: Kiprah dan Tantangan Perempuan Muda dalam Aktivisme Kampus

Leave a Comment