Daster, AI, dan Ketakutan Baru Perempuan di Ruang Digital

Diyanah Nisa

No Comments

Kutub.co – Pakai daster, kini hadir ketakutan baru yang tumbuh pelan-pelan di tubuh perempuan hari ini. Bukan cuma takut dilecehkan secara verbal, tapi takut tubuh kita direkam, disimpan, dimanipulasi, lalu dipakai untuk mengancam kita di kemudian hari. Namanya sextortion, dan AI membuatnya jauh lebih mungkin terjadi.

Aku menulis ini bukan dari jarak aman. Ini masih sangat baru. Aku baru saja mengalami pelecehan di Live TikTok. Bukan karena aku telanjang. Bukan karena aku melakukan sesuatu yang “mengundang”. Aku hanya memakai daster. Baju rumah paling banal yang dipakai jutaan perempuan Indonesia untuk tidur, menyapu, atau sekadar rebahan sore.

Tapi di mata sebagian orang, dan algoritma, itu sudah cukup untuk dianggap “provokatif”.

Di titik itu, aku sadar: masalahnya bukan bajuku. Masalahnya adalah cara tubuh perempuan terus-menerus dibaca sebagai objek seksual, bahkan ketika ia sedang paling biasa.

AI dan ilusi “aman di rumah”

Selama ini kita diajari bahwa rumah adalah ruang aman. Bahwa selama kita tidak keluar malam, tidak berpakaian “aneh”, tidak macam-macam, kita akan baik-baik saja. AI menghancurkan ilusi itu.

Sekarang, seseorang tidak perlu menyentuh tubuhmu untuk melecehkanmu. Mereka cukup:

  • merekam layar live-mu,

  • mengambil satu tangkapan layar,

  • memasukkannya ke software AI,

  • dan tiba-tiba wajahmu bisa ditempelkan ke tubuh telanjang yang tidak pernah menjadi milikmu.

Deepfake porno, manipulasi suara, dan gambar sintetis membuat pelecehan tidak lagi membutuhkan kontak fisik. Tubuhmu bisa “diperkosa” secara digital tanpa kamu pernah membuka baju.

Dan inilah yang jarang dibahas dengan jujur: sextortion tidak selalu dimulai dari foto telanjang. Ia bisa dimulai dari daster, dari wajah, dari suara, dari eksistensi.

Mengapa perempuan selalu disalahkan?

Setiap kali ada pelecehan, pertanyaan pertama hampir selalu sama:

“Pakaiannya apa?”

Pertanyaan ini tidak hanya bodoh, tapi berbahaya. Karena ia mengalihkan fokus dari pelaku ke korban, dari sistem ke individu.

Jika daster saja dianggap sensual, maka tidak ada lagi pakaian yang “aman”. Jika perempuan harus terus mengatur tubuhnya agar tidak memancing fantasi orang lain, maka yang bermasalah bukan tubuh perempuan, melainkan fantasi yang dibiarkan liar tanpa kontrol.

Yang lebih menjengkelkan: platform digital sering bersembunyi di balik dalih “konten sensitif” untuk menyensor perempuan, sementara komentar pelecehan dibiarkan lewat begitu saja. Algoritma lebih cepat menghukum tubuh perempuan ketimbang perilaku predator.

Ketakutan yang sunyi

Ketakutan akan sextortion itu sunyi. Tidak selalu dibicarakan. Banyak perempuan memilih diam karena:

  • takut disalahkan,

  • takut dianggap lebay,

  • takut reputasinya rusak sebelum apa pun terjadi.

Padahal ketakutan itu rasional. AI berkembang lebih cepat daripada hukum. Literasi digital kita tertinggal. Mekanisme pelaporan sering tidak responsif. Dan di tengah semua itu, perempuan diminta “lebih hati-hati”, seolah tanggung jawab sepenuhnya ada di pundak korban.

Ini melelahkan. Dan jujur saja: tidak adil.

Kita tidak paranoid, kita sadar

Menamai ketakutan ini sebagai paranoia adalah bentuk gaslighting baru. Perempuan tidak berlebihan, perempuan sedang membaca tanda-tanda zaman.

Yang kita butuhkan bukan imbauan moral soal pakaian, tapi:

  • regulasi serius tentang deepfake dan AI abuse,

  • tanggung jawab platform terhadap pelecehan berbasis gender,

  • dan perubahan cara pandang bahwa tubuh perempuan bukan properti publik.

Aku menulis ini untuk mengatakan satu hal sederhana: memakai daster bukan undangan. Hidup di ruang digital bukan persetujuan. Dan rasa takut ini bukan kelemahan, ia adalah alarm.

Jika alarm ini terus diabaikan, jangan heran kalau suatu hari kita bangun di dunia di mana tubuh perempuan bisa diproduksi ulang, diperdagangkan, dan diperas, tanpa pernah menyentuhnya.

Dan saat itu terjadi, semoga kita tidak lagi sibuk bertanya: “Kamu pakai apa?”

Karena jawabannya mungkin tetap sama: baju biasa.

AI, beraktivitas, Daster, digital, Perempuan

Artikel Lainnya

Dari Lorong Kampus ke Barisan Perubahan: Kiprah dan Tantangan Perempuan Muda dalam Aktivisme Kampus

Boleh Gak Sih Minum Obat Penunda Haid Biar Puasa Full? Ini Kata Dr. Neng Hannah

Merayakan Hari Valentine dengan Me Time: Bentuk Kasih Sayang untuk Diri Sendiri

Leave a Comment