Hujan Bandung: Romantis atau alarm Infrastruktur?

Hasemi

No Comments

Kutub.co – Di media sosial, hujan di Bandung sering dirayakan sebagai suasana romantis sebuah estetika kota yang meneduhkan. Namun bagi banyak warga di perbatasan Kota Bandung dan Kabupaten Bandung, narasi itu terasa jauh dari kenyataan. Hujan bukanlah lukisan keindahan, melainkan alarm bahaya yang menandai kemungkinan akses jalan terputus, banjir mendadak, dan perjalanan pulang yang penuh kecemasan. Ada jurang antara Bandung yang dilihat internet dan Bandung yang benar-benar ditinggali manusia setiap hari.

Masalah banjir + macet di Bandung bukan sekadar “curah hujan tinggi.” Ini merupakan akumulasi dari tata ruang yang tidak terkendali, hilangnya ruang resapan, drainase yang tidak terintegrasi, dan sistem lalu lintas yang reaktif, bukan antisipatif. Ketika pembangunan tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan, warga yang menanggung konsekuensinya. Dan setiap tahun, pola yang sama berulang tanpa perubahan mendasar menciptakan lingkaran masalah yang melelahkan.

Rania, menggambarkan hujan sore sebagai awal dari drama panjang. Macet tidak bergerak, kelelahan setelah bekerja, dan kecemasan berlapis.

Sering muncul pertanyaan dalam benaku saat hujan: apakah air akan naik? apakah jalan akan terputus? apakah aku bisa tiba di rumah sebelum malam semakin larut?

Ketakutan itu bukan datang sekali, tetapi berulang setiap musim hujan. Keesokan hari, ia terpaksa mengulang ritme yang sama. Tubuh lelah, rute kacau karena banjir, dan perjalanan yang dipenuhi ketidakpastian. Hidup terasa seperti bertahan dalam mode darurat.

Dampak Psikologis yang Jarang Dibahas

Kemacetan dan banjir bukan sekadar kerusakan infrastruktur; ini adalah tekanan mental kolektif. Ratusan ribu warga harus memikul frustrasi, kecemasan, dan kelelahan emosional yang menumpuk setiap hari. Di saat narasi romantis tentang Bandung terus disebarkan, warga menghadapi kenyataan bahwa kota ini belum siap menghadapi perubahan pola cuaca. Kondisi ini menunjukkan rapuhnya kota secara sistemik dan rapuhnya kesehatan mental warganya ketika kebijakan tidak hadir melindungi mereka.

Arah Solusi: Apa yang Bisa Dilakukan Pemerintah?

Pendekatan jangka pendek seperti menurunkan petugas saat banjir tidak cukup. Kita butuh langkah struktural:

  • Penataan ulang tata ruang yang menghentikan izin di kawasan rawan serta mengembalikan ruang hijau.
  • Drainase skala besar yang terintegrasi, bukan sekadar perbaikan kecil berulang tiap tahun.
  • Manajemen lalu lintas darurat berbasis data: rerouting jelas, sistem informasi real-time, dan skenario transportasi saat banjir.
  • Kesehatan mental dalam kebijakan bencana: hotline psikososial, ruang pemulihan, dan edukasi publik untuk mengurangi stigma.

Solusi ini menempatkan warga sebagai pusat, bukan objek yang harus beradaptasi sendiri.

Sebuah kota disebut romantis bukan karena hujan yang turun, tetapi karena warganya merasa aman, tenang, dan tidak dibiarkan menghadapi bencana sendirian. Bandung akan menjadi kota yang benar-benar indah bila infrastrukturnya kuat, manajemennya berpihak pada warga, dan kesejahteraan mental menjadi bagian dari kebijakan publik. Romantisme kota dimulai dari rasa aman, bukan dari estetika semata.

Bandung, Banjir, beraktivitas, Hujan, Infrastruktur, Macet, Romantis

Artikel Lainnya

Indonesia-Uni Eropa: Perlindungan Digital terhadap Perempuan dan Anak Adalah Isu Global

Bagaimanasih Mencegah Dehidrasi Saat Berpuasa?

PERAN PEREMPUAN DALAM MELAWAN STIGMA “PEREMPUAN SEBAGAI SUMBER FITNAH” Part 2

Leave a Comment