Kutub.co – Dinda tidak pernah membayangkan bahwa sebuah notifikasi Facebook akan mengubah caranya memandang dunia digital. Malam itu, ketika layar ponselnya menyala, ia mengira itu hanya pesan biasa.
Namun yang muncul justru gambar tidak senonoh yang dikirim oleh seseorang yang bahkan tidak ia kenal.
Hatinya tercekat.
“Kenapa aku? Kenapa aku dianggap seperti ini?”
Dinda mencoba mengabaikannya. Hingga suatu hari, WhatsApp-nya berbunyi—kali ini dari rekan kerja. Bukan sapaan, bukan pertanyaan kabar, melainkan kata-kata bernada melecehkan.
Seolah tubuhnya bebas dinilai.
Seolah status disabilitasnya membuatnya tidak punya batas.
Dinda hanya terdiam beberapa detik sebeluum akhirnya berkata tegas:
“Ini tidak pantas. Berhenti.”
Melindungi Diri Itu Melelahkan, Tapi Harus Dilakukan
Dinda menghapus pertemanan pelaku di Facebook.
Ia memblokir rekan kerja yang mengirim pesan tak pantas itu
Ia bicara tegas meski suaranya sempat bergetar.
Namun ada hal yang lebih menyakitkan dari gambar dan pesan itu:
banyak orang menganggap semuanya sekadar candaan.
Padahal bagi perempuan terlebih perempuan penyandang disabilitasitu adalah serangan langsung terhadap rasa aman.
Kalau Bukan Kita yang Bersuara, Siapa Lagi?
Dinda ingin ruang digital berubah. Ia ingin semua orang tahu apa itu KGBO (Kekerasan Berbasis Gender Online). Ia ingin masyarakat mengerti bahwa kiriman tak senonoh bukan lelucon. Ia ingin korban seperti dirinya berani bersuara, bukan merasa bersalah.
Dinda percaya bahwa edukasi publik, kampanye batasan perilaku digital, dan dukungan keluarga adalah “pelukan pertama” bagi korban yang terluka diam-diam.
Untuk Negara, Harapan Itu Lebih Besar
Bagi Dinda, edukasi saja tidak cukup. Ia ingin ketegasan hukum ditegakkan. UU TPKS telah mengatur KGBO. Bahkan, jika korbannya adalah penyandang disabilitas, kasus bisa diproses tanpa menunggu laporan.
Bagi Dinda, itu bukan sekadar pasal. Itu adalah janji perlindungan dan janji itu harus ditepati.
“Aku tidak minta istimewa.
Aku hanya ingin aman, seperti orang lain. #Dinda Sabila